Lihat ke Halaman Asli

Dik, Kau Masih Belum Berubah

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Coba tebak, tanggal 20 Mei hari apa? Hari kebangkitan nasional. Betul, katanya sih. Meski terdapat celah perdebatan juga, soal landasan hari kebangkitan yang mengabadikan momen didirikannya Boedi Oetomo. Belum lagi soal realitas kehidupan di negeri ini yang masih anomali dengan kebangkitan.

Nah kalau tadi tanggal 20 mei, sekarang kalau tanggal 26 Mei hari apa? Sabtu! Bukan, tanggal 26 Mei adalah hari dimana aku meminangmu. Cieeee! Unyu, unyu, unyu! Maksudnya di hari itu ada apaan? Ya elah, hari ini sangat bersejarah. Bukan bagi saya tapinya, namun bagi anak-anak SMA kelas akhir. Apalagi kalau bukan hari pengunguman kelulusan UN.

Sebenarnya saya sudah dari kemarin dengar tanggal 26 itu pengunguman kelulusan SMA dan sederajat. Kebetulan tahun ini saya tidak berdebar-debar seperti tahun lalu. Tahun lalu saya pegang bimbel SMA kelas akhir untuk satu mata pelajaran yang di-UN kan. Guru atau tentor mana yang tidak seperti lari estafet mananti penguguman lulus siswanya. Kebetulan juga sodara saya juga masih kelas XI tahun ini. Sehingga begitulah, tahun ini tidak seperti tahun kemarin.

Namun ketika pulang dari ekskul tadi saya terusik dengan siswa-siswa yang merayakan kelulusan. Mengendarai motor, seragam putih mereka seperti tembok atau dinding gedung tua yang disemprot-semprot tak keruan. Masih elok dinding yang digrafiti oleh boomber.

Tidak siswi atau siswa, kesyukuran bisa lulus itu diekspresikan dengan memilok seragam. Mungkin ada yang beralasan, inikah baju bekas juga. Jiah, mengapa tidak memakai karung bekas atau kardus saja sekalian.

Apakah para guru di sekolahan mengajarkan kepada siswa yang lulus untuk memilok seragam? Apakah guru berwejang seperti ini. “Nak, silakan dipilok seragam mu, kalau perlu muka mu sekalian kalau lulus”. Seperti itu? Saya yakin tidak ada. kalau ada juga, saya tidak tau deh guru apaan.

Oke, ini fenomena yang sudah lama. Bahkan sebelum saya sekitar 5 tahun silam lulus pun, fenomena itu sudah eksis. Namun betatapun fenomena ini sangat mengusik. Mengapa sampai sekarang fenomena ini, tradisi yang sia-sia ini masih eksis? Bukankah sangat mengusik?

Dimana dosa para guru, sampai muridnya berbuat sedemikian itu? Mengapa bisa tidak ada penjaga norma yang mentekel ekspresi yang nyeleneh itu? Apakah karena kita sudah memaklumi kebebasan berekspresi yang nyeleneh? Siapa sangsi?

Saya yakin saya bukan seorang yang resah dan terusik dengan kebebasan berekspresi sebagian siswa di atas. Begitu pula saya yakin sudah banyak yang gerah dengan kebebasan berekspresi yang nyeleneh dan tidak bertanggung jawab. Kebebasan yang diekspor dari dunia Barat.[]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline