Lihat ke Halaman Asli

Politik Aliran (Islam Politik), Tamatkah?

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Era politik aliran sudah tamat”, demikian sebuah judul yang diturunkan sebuah media online nasional dalam menyimpulkan pernyataan Din Syamsuddin (10/4). Pernyataan pimpinan umum Muhammadiyah itu dalam isi beritanya berbunyi "Saat ini sudah sangat-sangat cair, jadi sudah tidak ada politik aliran, apalagi yang bersifat ideologis, keagamaan itu sudah tidak ada, karena sama-sama sudah punya ideologi baru, yaitu pragmatisme politik". Pernyataan itu dikeluarkan oleh Din ketika menghadiri bedah buku Dilema PKS;Suara dan Syari’ah karya Burhanuddin Muhtadi.

Menarik untuk menaggapi pernyataan tersebut. Sebagaimana kita ketahui, Indonesia merupakan negeri yang dihuni beragam identitas, baik fisik maupun non fisik (pemikiran). Termasuk dalam kecendrungan terkait pandangan politik.

Kecendrungan suatu kelompok pada partai politik tertentu ini dinyatakan oleh Cliford Gertz ketika meneliti masyarakat Jawa. Penelitian antropologi itu menunjukkan bahwa masyarakat dari kalangan santri menyalurkan suaranya kepada partai Islam. Sementara dari kalangan abangan dan priyai menyalurkan suara ke partai selain Islam. Tesis Gertz inilah yang kemudian dikenal dengan istilah politik aliran (political cleavage). Begitupun pada perkembangan seterusnya, meski dengan catatan parpol Islam dalam panggung politik

Surutnya Parpol Islam Kontestan Pemilu

Kalau melihat perkembangan tema politik aliran sendiri, maka fokus perbincangannya terletak pada soal penyaluran suara pemilih (konstituen) ke kontestan pemilu (parpol). Sehingga menjadi relevan kalau dikatakan bahwa politik aliran sudah surut atau tamat. Hal ini beranjak dari hasil-hasil pemilu yang didapatkah oleh partai politik peserta pemilu –terlebih pada partai yang disebut sebagai partai Islam yang menjadi pembahasan ini.

Benarkah politik aliran –dalam pengertian kecendrungan suatu kelompok masyarakat terhadap ideologi atau pandangan tertentu yang diemban partai surut atau tamat? Lebih spesifik lagi apakah kecendrungan umat Islam terhadap parpol-parpol Islam sudah surut atau tamat?

Ada beberapa penjelasan terkait ini. Pertama, parpol Islam sejak pasca reformasi tumbuh menjadi kurang lebih 9 partai (PPP, PAN, PKB, PKS (PK), PBB, PBR, PMB, PKNU, PPNUI). Kenyataan parpol Islam yang lebih dari satu ini cukup logis untuk menjelaskan kurang beruntungnya parpol Islam dalam perolehan suara. Suara pemilih dari umat Islam terpolarisasi. Sehingga perolehan suara parpol-parpol Islam lebih rendah dari parpol seperti Golkar, PDI dan Demokrat.

Kedua, adalah partai politik (Islam) sendiri. Hampir tidak ada perbedaan tegas antara parpol Islam dengan parpol sekuler. Dalam beberapa kasus, kader parpol Islam juga tersandung kasus korupsi. Performa inilah yang kemudian membuat konstituen setidaknya meragukan bahkan sampai tidak percaya lagi pada parpol Islam.Belum lagi misalnya pada soal keberpihakan parpol Islam pada isu-isu sensitif yang menyangkut hajat hidup rakyat macam privatisasi, pembatasan subsidi dsb. Di tambah fakta bahwa parpol sekuler pun memiliki sayap partai atau program yang mencoba meraih simpatik umat Islam seperti PDIP dengan Baitul Musliminnya.

Ketiga, fenomena di atas berkaitan dengan kesadaran dan pemahaman konstituen –lebih luas lagi masyarakat—terhadap Islam politik. Padahal umat Islam di negeri ini terhitung banyak jumlahnya secara kuantitatif. Pada poin ini terdapat kesenjangan antara jumlah umat Islam dengan perolehan partai Islam –di samping fakta banyaknya parpol Islam. Pemilih dari umat Islam tidak atau masih belum memiliki visi terkait Islam politik. Dalam bahasa sederhananya, umat Islam tidak sampai berpikir tentang bagaimana parpol atau tokoh yang akan dipilih menjalankan negara? Dengan pondasi apa? Syari’at atau liberal?

Kalau diteliti lagi, maka pada poin kedua dan ketiga ada kesamaan simpul. Kesamaan itu adalah pragmatisme politik. Pada parpol, pragmatisme menggeser platform dan ideologi partai. Mahalnya biaya politik dalam sistem demokrasi membuat parpol harus memiliki modal. Dari pintu inilah kader dan petinggi partai tersandung proyek-proyek siluman atau terlibat kebijakan yang merugikan negara dan rakyat.

Sementara di kalangan pemilih, terjadi barter suara dengan hadiah tertentu yang diberikan oleh parpol. Rakyat berpikir pragmatis, “yang penting hari ini dapat uang”. Ini juga menjadi koreksi terhadap semua parpol, karena parpol malah tidak melakukan pencerdasan politik pada rakyat.

Meski memang rakyat pun lambat laun mulai menyadari reputasi parpol yang pragmatis. Hasil survei tingkat kepercayaan publik terhadap parpol yang menurun menjadi indikasi akan hal ini.

Harapan Itu Masih Ada

Begitulah gambaran kepercayaan dan kecendrungan pemilih dari umat Islam terhadap parpol yang menjadi kontestan pemilu. Belakangan terakhir pun hasil survei seperti yang dilakukan CSIS dan LSI menunjukkan tingkat kepercayaan terhadap parpol menurun. Namun benarkah umat Islam sudah tidak memiliki kecendrungan terhadap Islam politik? Dalam tujuan memberikan sumbangsih untuk negeri ini melalui penerapan syari’at Islam?

Fakta tren kepercayaan pada parpol memang menurun, namun tidak demikian dengan tren kecendrungan terhadap syari’at Islam. Dalam beberapa hasil survei, justru tren menunjukkan kenaikan yang signifikan. Kecendrungan umat Islam terhadap syari’at Islam meliputi keinginan untuk diatur berdasarkan hukum syari’at dan bernegara dalam naungan kekhilafahan (pemerintahan Islam).

Survei yang diadakan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama tiga tahun berturut-turut yakni 2001, 2002, dan 2003 mendapatkan temuan terjadi peningkatan dukungan terhadap pemberlakuan syariat Islam di Indonesia. Tahun 2001 angkanya 57,8 persen, tahun berikutnya 67 persen, dan terus meningkat pada 2003 menjadi 75 persen (mediaumat.com,21/02/12)

Tren tersebut antara lain ditemukan dari hasil survei SEM Institute Jakarta pada 2008 menunjukkan 72 persen responden setuju terhadap penerapan syariah Islam. Pada 2011 lalu, Setara Institut juga melansir hasil survei yang menyatakan 34,6 % responden sepakat sistem Khilafah. “Sekalipun jumlah yang setuju dan tidak setuju dengan sistem khilafah terpaut cukup siginifikan, tapi temuan survei ini membuktikan bahwa gagasan khilafah telah diterima oleh sebagian masyarakat”, ujar Hendardi menilai survei tersebut.

Terbaru adalah survey yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian (lemlit) Universitas Muhammadiyah Dr Hamka (Uhamka) Jakarta. Subhan El Hafiz, Dosen Fakultas Psikologi Uhamka itu mengatakan bahwa hasil survei yang diselenggarakan 18-29 Juli 2011 menyimpulkan bagian besar masyarakat mengharapkan adanya negara Islam, sekitar 76 persen (republika.co.id, 21/2/12).

Melalui pemaparan ini maka disimpulkan bahwa kecendrungan politik umat Islam pada parpol kontestan pemilu memang surut. Bahkan sebagaimana disebut Din Syamsuddin sudah tamat –karena bergeser menjadi pragmatisme politik.

Namun kecendrungan umat Islam pada Islam politik –ide penerapan syari’ah dan khilafah-- tidaklah lenyap. Justru kecendrungan itu makin menguat tiap tahunnya melalui hasil survei yang ada. Dengan kata lain dapat juga dibaca bahwa kecendrungan umat Islam terhadap Islam politik (penerapan syari’ah dan khilafah) tidak disalurkan ke parpol Islam kontestan pemilu. Melainkan disalurkan pada gerakan atau kelompok Islam yang melakukan edukasi politik di luar parlemen semisal HTI. Wallahu'alam.[]

selesai, 15/4/2012


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline