Lihat ke Halaman Asli

Effendy Wongso

Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Sepenggal Kenangan Edelweiss

Diperbarui: 4 Maret 2021   00:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi novel Sepenggal Kenangan Edelweiss. (peakpx.com)

Bromo, 1995

Ini memori biru
rangkuman kebersamaan
dalam hari-hari yang singkat
kesederhanaan alur kisah,
dan saling mengasihi merupakan euforia

Semuanya tumbuh seiring kenangan
sehingga sang waktu pun
tak mampu memupusnya 

 -- Catatan Kecil Perjalanan

Bromo, 10:15 PM.

Saya baru saja mengedipkan mata ke arah Aditya ketika Mami sudah berdiri di belakang kami dengan muka butek. Terlambat. Anak itu memang lamban selambat kura-kura. Slow motion-nya bikin celaka. Dia lebih gemulai ketimbang balerina.

"A-Adit! Apa-apaan sih kalian ini?!" Wanita gemuk itu menjerit dengan suara semirip lengkingan knalpot bajaj.

"Sa-saya mau ke toilet!"

Robby sudah mengambil jurus langkah seribu begitu Mami melototkan mata sebesar ikan maskoki. Dia terbang segesit walet. Aditya nyaris kelengar. Gagal menyembunyikan botol miras. Prahara tidak dapat dielakkan!

Saya menepuk dahi. Dan mengaduh dalam hati. Kesal. Anak itu selalu bikin ulah. Kali ini Mami pasti akan mengeluarkan petuah-petuah bijaknya yang sepanjang tujuh halaman folio ketik dua spasi. Seperti syarat penulisan cerpen pada sebuah majalah remaja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline