Lihat ke Halaman Asli

Effendy Wongso

Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Meong, Kucingku Sayang Kucingku Malang

Diperbarui: 28 Februari 2021   09:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi diary Meong, Kucingku Sayang Kucingku Malang (dok. oprahmagazine.com)

Senja di Pengujung Februari 1979,
seperti anak-anak lainnya
aku memanfaatkan waktu sore sehabis mandi untuk bermain
bersama anak-anak tetangga

Kulihat "Meong",
nama kucingku masih sehat berlarian
ia larut bermain sendiri,
entah dengan siapa di pekarangan rumah

"Meong", entah kucing ke berapa yang dipelihara orang tuaku
sejak lama, kucing-kucing liar datang silih berganti ke rumah
untuk menumpang makan, bahkan menetap dan beranak pinak
hingga akhirnya dipelihara

Sejujurnya, aku sendiri tidak terlalu dekat dengan "Meong"
bulu-bulu halus kucing manja itu selalu rontok
maklum, namanya kucing kampung
dan itu membuatku "jijik"

Meskipun tidak terlalu dekat dengannya
tapi rasa sayang itu tidak hilang
sebab, "Meong" sudah kuanggap bungsu di antara adik-adikku

Sehabis bermain, entah di mana
magrib, kulihat "Meong" lunglai tak selincah biasanya
ia tak lagi melingkar meliuk di kakiku seperti biasanya
jika manjanya kumat,
paling tidak untuk dibelai atau digelitik

Tidak lama berjalan masuk ke rumahku
ia ambruk, kepalanya mengeluarkan darah kental
serupa sirup merah
: "Meong" mati!

Ternyata, saat bermain
"Meong" ditabrak mobil di jalan
ia masih berusaha bertahan
tidak mati di tempat
sebab, ingin mati di rumahnya
rumah kami, keluarganya
sekadar mengucapkan
: selamat berpisah!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline