Lihat ke Halaman Asli

Haruskah Jas Almamater Dihilangkan?

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13114937031967025831

Keberagaman bukanlah halangan untuk menjadi satu warna. Pelangi yang terdiri dari beragam warna—merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu pada hakekatnya hanyalah proyeksi satu warna, putih. Seperti itulah dalam kehidupan ini, filosofi pelangi tampaknya cocok untuk menggambarkan kemajemukan hidup yang begitu rumit. Faktanya, negeri kita ini adalah negeri yang majemuk. 17.504 pulau menjadi salah satu bukti hidup kemajemukan ini. Tak hanya itu, suku, bahasa, adat-istiadat, budaya, sampai agama dan sarana pendidikan pun beragam. Negeri ini juga tak kurang akan keberagaman jumlah Perguruan Tingginya. Mulai dari Perguruan Tinggi Negeri, Swasta, sampai yang ikatan dinas pun tersedia lengkap. Kuantitas tak menjamin kualitas, banyak yang berfikir seperti itu. Ya, baiklah saya setuju. Sementara kalau kita lebih tahu banyak dari berbagai hasil survei atau mungkin hanya sekadar browsing via google tentang prestasi-prestasi beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia yang diwujudkan melalui serangkaian karya cipta anak negeri, kita akan terangguk-angguk sendiri. Kata orang-orang yang memperbincangkan tentang rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia nampaknya perlu direvisi ulang. Tetapi, lantas apa yang menyebabkan kondisi negeri ini carut marut? Kurangnya perhatian pemerintah untuk mendukung bakat yang luar biasa terpendam pada masing-masing anak bangsanya. Mulai dari perhatian berupa urusan finansial maupun fasilitas-fasilitas yang mendukung untuk pengembangan diri. Tidak hanya karena faktor pemerintah, pribadi negatif para anak bangsa juga bisa menjadi salah satu alasan kenapa negara kita masih saja statis di tempat. Arogansi-arogansi antarkampus masih terasa dengan jelas. Tak tahu fenomena ini darimana awal kedatangannya. Tapi yang jelas, keadaan ini sepertinya memang terus tertanam pada jiwa-jiwa mahasiswa Indonesia. Kaderisasi sepertinya begitu kuat kuat tertanam. Mahasiswa-mahasiswa golongan tua memberikan doktrin-doktrin yang tidak sehat kepada mahasiswa baru. Tidak semuanya, saya tak ingin menggeneralisasi. Di samping kaderisasi negatif tersebut, nafsu untuk terlihat sebagai pribadi yang lebih unggul menjadi jawaban lain atas fenomena ini. Dengan nama besar kampus dan jaket almamater kebanggan seakan mereka ingin membuktikan dan menunjukkan “Ini aku yang hebat. Kampusku dan jas almamaterku menjadi bukti nyata.” Arogan sekali. Kalau hanya dengan arogansi kampus bisa menjadikan negeri ini kurang berkembang, lalu kenapa ia masih dipertahankan? Padahal kalau seluruh kampus melalui anak didiknya yang berprestasi disatu padukan, mungkin karang keterbelakangan pun bisa dirobohkan. Haruskah jas almamter itu dihilangkan, lalu diganti dengan jas satu warna?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline