(Kontrapoduktif Regulasi Pengelolaan Kawasan Hutan di Aceh)
Pak.! Kami dilarang mengambil hasil hutan itu, kata mereka itu KEL.!
Kami dilarang berusaha di dalam hutan itu, kata mereka itu KEL.!
Kebun kami pun kata mereka masuk KEL.!
Patok batas itu pun ada di dekat rumah kami, kata mereka itu KEL.!
Kami harus bagaimana.? Kami harus melakukan apa.?
....................
Kalimat-kalimat di atas merupakan keluhan masyarakat yang tinggal dan bermukim di sekitar kawasan hutan yang umumnya di Kabupaten Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Subulussalam, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang.
Masyarakat saat itu dihadapkan pada pembatasan akses untuk masuk dan beraktifitas di dalam hutan yang disebut KEL (Kawasan Ekosistem Leuser), yang tidak jarang berujung dengan penindakan secara hukum sehingga menyebabkan hilangnya hak akses masyarakat setempat terhadap kawasan hutan yang disebut KEL (Kawasan Ekosistem Leuser) dan hal ini meresahkan masyarakat yang lahannya berada di dalam KEL (Kawasan Ekosistem Leuser).
Kondisi di atas dimulai sejak tahun 90an dan terus berjalan sampai dengan munculnya Keppres pada tahun 1998 yang menunjuk Yayasan Leuser International (YLI) sebagai mitra pemerintah dalam "pengelolaan" Kawasan Ekosistem Leuser (KEL.
Kontradiksi yang lebih parah muncul waktu Pemerintah Aceh membentuk Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) sebagai perintah dari UU No. 11 tahun 2006, ketika itu BPKEL menjadi lembaga pemerintah yang punya tugas sama dengan Dinas Kehutanan sehingga konflik kewenangan mencuat dan mengundang kebingungan masyarakat, siapa yang mereka ikuti dan patuhi.?