Lihat ke Halaman Asli

[Kartini RTC] Rantai

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14294466891935074836

"Tiga ratus ribu," katanya seraya menyodorkan  api.

Kebekuan malam pecah saat kau menyalakan rokok. Senyuman terurai lepas saat hatimu mulai bergumul dengan kepulan putih yang menari mengikuti irama angin. Teriakan itu nyaris memekik ketika tiba-tiba rantai itu kembali mengikatmu. Kenapa perempuan bangga hidup terlilit? Sedangkan, lelaki disampingmu tengah menawarimu kebebasan?

Asap mulai memudar dari pandangan matamu. Kemana perginya kebebasan itu? Sedangkan dia belum menyarankan kata apa yang harus kau ucapkan untuk menjawab semua pertanyaanmu? Kau tertawa. Kepekatan malam berlahan berubah menjadi layar yang menampilkan semua kebodohanmu. Terlahir wani(dita)ta, menikah, dan bekerja.

"Kamu maunya berapa?," dia tetap sabar menunggu jawabanmu.

Seolah ingin menelanjangi, kau sapukan pandangan matamu ke setiap sudut tubuhnya. Pipimu segera bersemu merah, orang seperti ini yang dulu kau impikan. Tapi, kenapa kau diam? Asap! Sesuatu yang pernah membuatmu ingin berontak ketika orang tuamu menjadikan dirimu gerabah yang harus hati-hati dijaga agar tak pecah?

"Dia masih menganggur?," tanyanya lagi dengan nada keyakinan.

Kepalamu mendongak. Helaan napasmu begitu panjang melintas waktu saat kau membasuh sepasang kaki di ritual pernikahan. Menjadi sigaraning nyawa (istri) seorang pria dengan rantai di tangannya siap mengikat tubuhmu. Kenapa pria membuat aturan moralnya sendiri? Mengapa sekarang kau berada disini? Atau, kau sudah berhasil melepaskan rantai itu?

"Aku tunggu di hotel," bisiknya tiba-tiba seraya melangkah pergi.

Kau tengok arlojimu. Kau hanya perlu waktu satu jam tuk menanggalkan rantai itu. Sesudahnya, bisa kau lilitkan lagi ditubuhmu. Bukankah kau ingin mencobanya? Di rumah pun kau berlaku bak seorang budak. Apa bedanya? Kau akan tetap terlihat sama dengan para ibu-ibu suci yang mempunyai jadwal teratur untuk bergunjing. Bahkan, kau tak kan lebih hina dari koruptor.

Selembar daun jatuh di rambutmu. Tubuhmu menggigil ketika tiba-tiba kau merasa nyeri menahan belitan rantai dari sebuah dompet kecil yang sedari tadi terselempang di pundakmu. Kau pun beranjak, mencari tempat untuk bersembunyi dari malam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline