Lihat ke Halaman Asli

[Kartini RTC] Oe Yi

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14294501851042815993

Nomor 76

"Aku sudah berkali-kali mati. Hampir semua pembunuhku bertampang baik, bahkan orang alim. Karena membunuhku menjadi kebaikan dan kebanggan bagi mereka," katanya dengan nada riang tanpa terselip sedikitpun kesedihan.

"Tidakkah kau merasa takut?," tanyaku khawatir.

"Tidak! Sudah banyak yang mematikan cintanya padaku, apa lagi yang harus aku takutkan?," katanya sambil memandangku dalam. Sejenak dia diam, diraihnya kedua tanganku lalu dipegangkan pada pinggangnya sambil bersuara lirih, "Kenapa Mas Tejo ragu? Lakukan, bila menurutmu itu yang terbaik."

"Maafkan aku," jawabku. Sungguh, aku tidak berani beradu pandang dengannya.

Ratusan lampion di halaman Pasar Gede satu persatu mulai menyala dan menampilkan siluet yang sama, keresahan hati sepasang anak manusia. Di kampung Sudiroprajan ini, setahun lalu aku mengenal gadis yang sekarang berdiri rapat di hadapanku. Dia yang selalu menemaniku menikmati wedang jahe di angkringan alun-alun kidul (selatan), di antara hiruk-pikuk kehidupan kota Solo.

"Kau tahu alasanku kenapa sekarang aku berada disini bersamamu? Karena senyum getirmu dan kebengalan sorot matamu selama ini," katanya.

"Kita berbeda?," jawabku pelan seakan berbisik.

Dia tertawa. Diayun-ayunkanya tangan kami yang masih saling berpegangan. Sementara jari-jari tangan kirinya masih memegang tanganku,  tiba-tiba dia melepas tangan kanannya dan ditempelkan ke dadaku. Dengan ketukan teratur dia mainkan jari-jari lentiknya sambil berkata, "Di sudut mana kau lihat diriku?  Adakah yang lebih berharga dari cinta?"

Bibirku terasa kelu untuk menjawab semua pertanyaannya. Benarkah Tuhan berdinding? Sehingga bebas melihat manusia dari sudut yang Dia mau? Pikiranku melayang. Harta? Kuasa? Bakti? Suasana seketika menjadi senyap ketika ku tarik kerisku yang menancap di perutnya. Kubiarkan tubuhnya bersender di dadaku sampai aku yakin tidak mendengar lagi suara hembusan napasnya. Ya, akulah Pangeran Tejoningrat yang membunuh Roro Hoyi demi meraih itu semua.

"Mau kemana? Apakah kau masih mau mengenalku?," tanyaku ketika ku rasakan tangan kananku terlepas dari genggamannya. Dia mulai melangkah mundur untuk menjauh dariku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline