Pertama, tentang saya, ketika hujan deras saya berteduh di depan sebuah ruko di pinggir jalan. Setelah memastikan kop busi GB100 saya aman dari guyuran hujan, saya segera merapatkan diri ke emperan ruko. Ah, memang nasib kalau lagi pas, ternyata di situ sudah ada seorang yang sedang berteduh juga, cewek, muda, cantik. Obrolan basa-basi sampai akhirnya dia beranjak ketika hujan sudah reda tiba-tiba keluar pertanyaan, "Pin BB-nya berapa, Mas...?".
Kedua, masih tentang saya, kebetulan bertemu kawan lama. Dia menitipkan salam buat teman kerja saya, cewek. Terus terang saya tidak begitu kenal dengan cewek ini karena beda divisi, yang saya tahu dia muda dan cantik. Tugas yang sangat berat. Mbak dapat salam dari A, kata saya saat menunaikan amanah. Jawabnya, "Pin BB-nya A berapa...?"
Ketiga, tetap tentang saya, mungkin karena tak rela melihat kwalitas jomblo saya yang kian tinggi, seorang teman saya menyarankan sebuah pertemanan lewat facebook. Saya lihat profilnya, cewek, muda, cantik. Saya sapa dia lewat obrolan, dia pun langsung menanggapi dengan ganti bertanya, "Pin BB-nya berapa, bagi dong...?!"
Sangat mudah untuk mencari persamaan dari tiga cerita tentang saya, yaitu saya sendiri. Bila dipakai rumus cepat jawabannya adalah tentang saya yang tidak punya BB. Tapi bila saya menjadikan ketiga cerita tadi sebuah pola maka yang akan muncul adalah cewek dan BB. Kemudian jika saya asal menyimpulkan adalah cewek cantik pasti punya BB. Sekarang adalah zaman moderen dimana pergerakan manusia sudah tidak terhambat ruang dan waktu, dengan demikian maka diperlukan alat komunikasi yang bias selalu terus menghubungkan antara manusia satu dengan manusia lainnya. Handphone menjadi kebutuhan yang nyaris mutlak. Bahkan untuk meraih pasar beberapa produsen handphone mendesain produknya sebagai bagian dari fashion ataupun lifestyle tetapi tetap tanpa meninggalkan fungsi utamanya sebagai alat untuk menelepon.
Lalu kenapa ketiga cewek cantik tadi tidak menanyakan nomor hape saya ??
Hadir di Indonesia pada tahun 2004, BB dikenalkan sebagai smartphone dengan beragam layanan unggulannya. Tuntutan pekerjaan yang harus terintegrasi dengan system IT membuat banyak perusahaan dan kantor yang menggunakan BB karena layanan datanya yang hebat. Dengan demikian awal kemunculannya adalah pada layanan akses data yang on time dan luasnya komunikasi gadged inilah yang membuat BB identik dengan hape orang bisnis atau kantoran. Namun harga yang relatif tinggi menjadikan BB menanggung beban sosial sebagai gadged kelas atas dan sayangnya stigma ini sudah terlanjur melekat pada sebagian masyrakat sampai sekarang. Emosi sosial inilah yang menjadikan BB sebagai salah satu indikator gaul dan peningkatan strata sosial sebagian orang. Munculnya berbagai smartphone baru dengan sistem android, Symbian, windows mobile sebagai kompetitor tetap tidak mampu menggoyahkan fakta bahwa pengguna BB terbesar di dunia adalah di Indonesia, hal ini tentu saja bukan karena alas an gaul atau tidak gaul semata tetapi mungkin lebih ke utilitas.
Jadi, buat ketiga Mbak yang cantik tadi, pemahaman etika menjadi sangat penting guna membangun aspek manusiawi dalam berkomunikasi apalagi ketika bertanya pada jenis manusia seperti saya yang super sensitif. Tidak semua orang menggunakan BB, mungkin lebih baik minta hati saya saja dari pada bertanya pin tapi jawaban saya, "081329........", karena tidak mungkin pula saya harus menuliskannya di jidat "Tidakpunya pin BB" walaupun keinginan untuk memliki BB tetap ada (nunggu harganya pas) sekedar buat jaga-jaga bila kelak di akherat ada biadadari yang reflek bertanya, "Pin BB-nya berapa, Mas ?".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H