Lihat ke Halaman Asli

Melihat Hubungan Seksual Dalam Budaya Jawa

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Salah satu pertanda dari peradaban adalah seksualitas. Manusia sudah demikian maju dari sekedar memuaskan naluri kebinatangan yang bersifat badaniah ke berbagai keintiman cinta, dengan segala kemesraan, kelembutan, sensualitas dan keceriaannya. Peningkatan kualitas pada seksualitas sering merupakan konsekuensi alami dari peradaban yang stabil, matang dan canggih. (Seni & Mitos Seksualitas Cina Kuno, Quills Book Publisher, 2007)

Perjalanan peradaban manusia tidak pernah bisa dipisahkan dari seks, mengingat seks sebagai salah satu cara untuk meraih kebahagian sekaligus sarana untuk meneruskan keturunan. Sudut pandang dan pemahaman manusia tentang seks berbeda-beda menurut adat kebudayaannya masing-masing. Hal ini terungkap dari temuan manuskrip-manuskrip sastra yang memuat tentang ajaran seksologi di berbagai negara. Dari berbagai temuan dari peradaban dunia, India dan Cina dianggap sebagai negara yang dengan jelas menuliskan tentang seks sebagai seni bercinta adalah kegiatan ritual mistis sebagai bagian dari harmoni kehidupan. Bahkan kitab-kitab Tantra dari India dengan gamblang mengambarkan berbagai posisi dalam hubungan seksual pada relief-relief candi. Ini pun juga terekam dengan jelas pada lukisan-lukisan kuno Cina yang disebut sebagai Seni Kamar Tidur. Perbedaan pemahaman tentang seks antara India dan Cina terletak pada paradigma, dalam Tantrisme mengarah sebagai ritual keagamaan yang bersifat sakral sedangkan kebudayaan Cina memandang sebagai kegiatan pragmatis keduniawian yang mengarah pada ketenangan, kebahagian dan kesehatan.

Di Indonesia (peradaban Jawa), temuan tertua mengenai seks berada di Candi Sukuh, Karanganyar. Kebudayaan Hindu yang pada waktu itu menjadi sentral tentang ajaran seks terlihat pada patung lingga-yoni sebagai menifestasi alat kelamin pria dan wanita. Pemahaman dan filosofis dari seks ini lebih lanjut terurai pada masa kerajaan Kasunanan Surakarta dengan diciptakannya Serat Centini dan Serat Nitimani. Dari sini dapat disimpulkan bahwa orang Jawa dahulu telah mempunyai pemahaman akan seni bercinta dengan baik, ditunjukan dengan berbagai macam tata cara dan posisi seks yang tidak menyimpang atau menjijikkan dalam kaidah kesehatan modern saat ini.

Serat Centini sebagai ensiklopedia kebudayaan Jawa memasukkan seks menjadi bagian dari tata cara dan ritual kehidupan yang selaras. Serat Centini dan Serat Nitimani menuliskan hakikat kegiatan seks sebagai sarana untuk meneruskan keturunan. Etika dan tata cara melakukan hubungan seks dibuat dengan tujuan sebagai sarana kebahagian dan juga untuk meningkatkan harkat dan martabat pelaku. Sisi religius dari seks digambarkan dengan adanya mantra-mantra saat melakukan kegiatan tersebut sebagai upaya atau doa agar mendapatkan keturunan yang baik. Seluruh ajaran tersebut disampaikan dalam bentuk tembang Macapat, sehingga ketika disampaikan dalam bentuk arahan atau piwulang orang tua terhadap anak tidak berkesan vulgar.

Dalam Serat Nitimani, orang Jawa memposisikan seks sebagai hubungan sakral yang harus sungguh-sungguh dilakukan dengan benar dan sesuai norma atau kaidah-kaidah yang berlaku. Kesalahan dalam hubungan seks akan menghasilkan kama salah yang tidak baik untuk keselarasan kehidupan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Tentang kama salah ini juga tertera dalam cerita Pengruwatan Murwakala. Berbekal pemahaman yang benar tentang seks diharapkan orang tidak akan melakukan hubungan seks secara sembarangan dan menekan munculnya masalah-masalah sosial yang berakibat fatal pada keselarasan kehidupan.

Pentingnya hubungan seks yang baik sebagai ajaran membentuk moral yang tinggi di antaranya terlihat pada cuplikan-cuplikan isi dari Serat Nitimani;

"Yen cecegah, den betah gonira ngampah, nganggah-anggah, yeku pakarti luamah" (Cegahlah nafsu birahi yang meluap-meluap tak terkendali karena itu tindakan bengis)

"Lamun harda, sampun dadra murang krama, mrih widada, pakartine kang utama" (Ketika keinginan datang, jangan meninggalkan aturan etika, itulah perbuatan luhur)

"Lamun tandhing, marsudya ing tyas ening, namrih ering, kang supadi tan kajungking" (Ketika bertanding, berusahalah untuk tenang dan kalem, agar ingat dan tidak kalah)

"Yen anglaras, penggagas aja sampun kabrangas, dimen awas, ing pamawas datan tiwas" (Ketika menikmati, jangan sampai lena, tetap terkendali biar pikiran dan nurani tidak mati)

"Lamun gela, jroning nala sampu daga, sengadiya, langkung condong ing wardaya, pamrihira, kang pinanduk tan legawa" (Apabila tidak puas, dalam hati jangan kecewa, terimalah dengan kesabaran agar tidak terulang lagi)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline