Lihat ke Halaman Asli

Refleksi Politik Dari Desa Ponowaren

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Senin (3/12/2012), desa-desa di wilayah kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, serentak mengadakan Pemilihan Kepala Desa atau Pilkades. Desa Ponowaren di wilayah kecamatan Tawangsari, bertempat di balai desa telah sukses mengadakan Pilkades pada hari itu juga. Acara yang diberi nama Rapat Pemilihan Kepala Desa Ponowaren tersebut dimulai dari jam 7 pagi sampai jam 4 sore berlangsung dengan aman dan tertib. Dalam acara tersebut ada 4 kandidat atau jago yang maju dalam ajang pemilihan kepala desa. Setiap jago memiliki simbol gambar sendiri-sendiri yang berasal dari nama tanaman bahan makanan seperti jagung, padi, ketela dan kelapa.

Dari proses pengambilan suara sampai proses penghitungan semua berjalan dengan lancar. Antrian terasa rapi dan tertib karena panitia membuat 4 pintu masuk berdasarkan jumlah dusun yang ada di desaPonowaren. Saat proses penghitungan suara pun, warga desa berkumpul mendengarkan dengan santai, tampak beberapa warga ikut mencatat hasil penghitungan. Tidak ada gesekan-gesekan antar pendukung calon, semua membaur jadi satu dalam suasana gembira dalam pesta demokrasi tersebut. Saat kandidat terpilih keluar dari arena, warga menyambut dengan meriah dan bersahaja. Mereka menyiapkan sebuah kereta kuda lengkap dengan pengiringnya yakni seorang manggalayuda yang naik kuda sendiri yang bertugas membuka jalan bagi kereta kuda dan rombongan penabuh gamelan yang mengiringi penari topeng. Sesuatu yang unik dan mengesankan.

Masyarakat desa Ponowaren yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani dan buruh adalah contoh bagaimana masyarakat desa yang selama ini dianggap bodoh dengan parameter pendidikan rendah, melaksanakan dan memaknai politik demokrasi secara dewasa. Hal ini terpantau jauh sebelum acara pilkades dimana suasana desa yang terus kondusif, ayem tentrem dan tenang. Warga terus beraktifitas seperti biasa dengan tetap berpolitik pada salah satu jago tanpa membuat pergerakkan yang bisa membuat resah masyarakat umum. Dinamika politik yang sungguh indah.

Sangat tidak pas bila mencoba membandingkan ajang pilkades dengan pilbup, pilgub atau pilpres, mengingat ruang lingkup pilkades sangat kecil. Tetapi walaupun begitu ada nilai-nilai plus yang bisa diambil dari mereka warga desa yakni kedewasaan menerima perbedaan dan kekalahan. Menerima perbedaan dan kekalahan politik adalah hal yang selama ini masih terlihat sulit bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Mereka yang maju dalam perpolitikan nasional dan notabene-nya adalah tokoh-tokoh nasional atau orang terkenal justru seringkali memicu konflik horizontal dengan melakukan protes dan mencari-cari kesalahan pihak lawan. Melakukan kampanye yang berindikasi SARA pun kerap terdengar. Terlihat jelas kegamangan mereka dalam memaknai demokrasi, sebuah ironi bila melihat gelar pendidikan mereka yang berenteng.

Berkaca pada pesta demokrasi masyarakat desa Ponowaren, seharusnya seluruh warga negeri ini bisa menjujung tinggi dan menghormati hah-hak politik antar warga negara. Biarpun mereka masyarakat desa yang selama ini dianggap bodoh tetapi mereka sesungguhnya pandai, mampu mebedakan mana mana yang harus dipilih dan punya kesadaran serta kedewasaan yang tinggi dalam memaknai demokrasi di negeri ini. Tidak hanya dalam pilkades bahkan dalam pesta demokrasi nasional pun masyarakat desa Ponowaren selalu bisa menjaga suasana dan bersikap dewasa dalam berpolitik. Di tangan masyarakat marjinal inilah, genta demokrasi tetap nyaring berdentang di negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline