[caption id="attachment_219411" align="alignleft" width="432" caption="Karna Tanding (foto: kibrewok)"][/caption]
Ini adalah hari ke-15 perang Baratayuda.Panah Pasopati yang dilepaskan Arjuna kini telah menancap di leher Adipati Karna. Tubuhnya telah rubuh ke tanah, tak ada kerisauan ataupun ketakutan yang ia rasakan. Karna mengerti bahwa waktunya sudah tiba.Tidak ada rasa menyesal ketika kemarin dia dengan tegas menolak bantuan Naga Ardawalika untuk melawan Arjuna.Dipandanginya seluruh medan perang Kurusetra. Matanya menatap tajam jauh ke depan, bibirnya tersungging senyuman sebagai tanda tak ada sedikitpun dia memendam rasa dendam. Hati Karna sangat bahagia karena akhirnya bukan Arjuna yang gugur melainkan dirinya, Ibunya pasti bersedih tapi takkan sesedih bila seandainya Arjuna yang mati.
Tampak jelas Prabu Salya, mertuanya yang membungkukkan tubuh untuk memberi hormat kepadanya sekaligus permintaan maaf karena tadi telah dengan sengaja membelokkan arah Jaladra, kereta perang Karna, agar panah yang dilepaskan Karna yang semula tepat ke leher arjuna menjadi meleset sekaligus mengarahkan kepala Karna supaya panah Pasopati menjadi tepat sasaran yang tadinya meleset saat dilepaskan Arjuna.Karna berusaha menggelengkan kepalanya guna melarang tindakan ayah mertuanya itu, "Tidak Ayah, hamba banyak kesalahan padamu.Hamba telah membuat ayah malu dengan membawa kabur putrimu, lalu hamba minta Paduka menjadi kusir kereta hamba, sudah sepatutnyalah bila Paduka selama ini membenci hamba".
Dikejauhan Karna juga masih bisa melihat Sri Kresna dan wajah tampan adiknya, Arjuna. Setiap kali menatap Arjuna, Karna seperti berkaca karena postur tubuh dan wajah adiknya itu sangat mirip sekali dengannya walaupun keyakinan tentang kebenaran kalau Pandawa adalah adik-adiknya baru ia dapatkan 3 hari sebelum peperangan dimulai dari penuturan langsung Dewa Surya, ayahnya, meskipun kabar tentang persaudaraan mereka telah ia dengar bertahun-tahun lamanya sejak ia membawa lari Dewi Surtikanti untuk ia peristri.
"Om awignam asthu nama sidam", Karna mengatur napasnya yang kian memburu dengan menarik napas dalam-dalam lalu dikeluarkanya lagi secara berlahan.Pikirannya melayang terus kebelakang.Terbayang wajah ibunya. Sehari sebelum pecah perang Karna sengaja pergi ke sungai Gangga untuk menyucikan diri seperti cara penyucian terhadap orang yang telah mati. Hati kecil Karna seperti berkata bahwa ia nanti pasti akan mati dalam pertempuran. Ketika hendak melangkahkan kakinya untuk pulang dihadapannya telah berdiri Dewi Kunti dengan penuh linangan air mata dan kesedihan yang begitu dalam. Ingin sekali Karna merangkul tubuh tua itu dan mengusap seluruh air matanya seraya berkata, Ibu, biarkanlah aku yang akan menanggung seluruh derita dan kesedihanmu itu.Tapi Karna hanya diam terpaku.
"Anakku Karna, karena kesalahanku engkau terpisah dariku dan adik-adikmu. Pastinya engkau tahu apa yang sekarang bisa membuatku bahagia dan menghentikan air mataku ini. Yakni bilamana engkau bersedia untuk tidak maju perang melawan adik-adikmu.Aku ingin engkau bergabung dengan kelima adikmu melawan Hastina. Apakah engkau tidak ingin aku yang telah melahirkanmu ini bahagia, anakku ??"
Dengan perasaan berkecamuk rasa duka, Karna membungkuk mencium kaki sang ibu, "Ibunda yang hamba hormati.Selama ini hamba telah mengabdi dan bekerja pada kerajaan Hastinapura. Dari tanah dan air Hastinapura inilah hamba dan keluarga hamba telah hidup. Apalagi sekarang hamba adalah panglima perang kerajaan Hastina. Besok pagi kerajaan Hastinapura akan diserang oleh musuh, tidak mungkin bagi hamba meninggalkan Hastina dan hanya berpangku tangan melihat kehancuran Hastina. Dan lebih mustahil bagi hamba untuk membunuh prajurit-prajurit yang selama ini telah setia menemani hamba berjuang menaklukan segala rintangan.Pantang bagi hamba melanggar sumpah dan menghianati negara. Dunia akan menertawakan hamba sebagai orang yang tidak bias menjalankan darma ksatria. Perang tinggal esok hari dan hamba tidak ingin mengecewakan harapan jutaan rakyat Hastinapura yang mengandalkan hamba sebagai panglima perangnya.Hamba mengerti keadaan dimana saya harus terpisah dengan ibu dan adik-adik hamba".
"Karna, anakku.Lalu bagaimana darmamu sebagai seorang putra kepada wanita yang telah melahirkanmu?"
"Ibunda, hamba ingin Ibu bahagia karena bangga mempunyai putra yang dapat menjalankan darma sebagai ksatria".
"Anakku..., dalam perang nanti engkau akan berhadapan dengan Arjuna. Dapatkah engkau membayangkan betapa remuknya hati ibu melihat dua orang putrannya saling berhadapan di medan perang dengan tekad saling membunuh?? Dapatkah engkau bayangkan apa yang sekarang aku rasakan??"