Lihat ke Halaman Asli

Buta Cakil, Sang Pencatat Sejarah

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebagai bentuk kebudayaan yang sarat akan filsafat dan petuah-petuah hidup, wayang menyimpan catatan rentetan cerita sejarah yang unik. Perjalanan panjang melintasi waktu telah menjadikan wayang mengalami perkembangan dari jaman ke jaman sekaligus sebagai pencatat sejarah dari masa yang dilaluinya. Adanya tokoh-tokoh dalam wayang Jawa yang tidak ditemui dalam wayang Bali maupun pada epos Mahabharata sebagai induk cerita keduanya adalah salah satu bentuk proses kreasi imajinatif dan spiritual masyarakat Jawa dalam menjawab tantangan jaman.

Sebagai sebuah bentuk kesenian rakyat dan sosial media, wayang dalam perjalanannya tak luput dari politisasi. Hal ini tentu berhubungan dengan keinginan penguasa yang ingin membentuk opini masyarakat pada waktu itu.

Dimulai dengan sejarah penulisan Kakawin mahabharata pada masa Jayabya di Kediri, dengan memasukkan karakter Prabu Jayabaya sebagai bagian cerita dan pencitraan sebagai salah satu awatara adalah upaya legitimasi raja terhadap rakyatnya.

Penggalangan dukungan masa terlihat di jaman Demak ketika Adipati Unus berusaha menyerang Portugis di Malaka dengan penciptaan karakter Dewa Srani, tokoh dewa yang hanya ada dalam pewayangan Jawa. Dewa Srani juga digunakan sebagai bentuk perlawanan para ulama-ulama setempat terhadap para misionaris.

Dalam sebuah lakon carangan dikisahkan bahwa ia berkeinginan untuk merebut kerajaan Amarta, dengan cara mencuri jamus Kalimasada, senjata Prabu Yudhistira. Di sini bahkan lakon wayang merambah ke polemik theologis yang sangat klasik antara Kristen dan Islam mengenai ajaran tauhid. (Semar dan Sokrates, Falsafah Wayang)

Di jaman Mataram Islam, misalnya. Penciptaan karakter Betara Yamadipati dengan bentuk seorang pendeta atau ulama bersorban yang bertugas mencabut nyawa manusia sebagai bentuk kampanye Sultan Agung untuk menggalang simpati rakyatnya saat menghancurkan Giri Kedaton yang notabenenya adalah kerajaan berbasiskan agama dengan ulama sebagai pimpinannya. Versi lain mengatakan kalau karakter Yamadipati ini adalah ciptaan Sunan Kalijaga sebagai bentuk perlawanan terhadap ajaran ulama-ulama palsu yang diperintahkan oleh Sultan Trenggana, raja Demak waktu itu, dalam membasmi musuh-musuh politiknya. Sedangkan sebagian berpendapat bahwa hal ini salah satu upaya counter attack Sunan Kalijaga terhadap Syeh Siti Jenar.

Di jaman Sultan Agung ini pulalah muncul karakter Buta Cakil, seorang raksasa yang mempunyai postur dan atribut ksatria. Ini adalah bentuk sindiran Sultan Agung terhadap para priyayi-priyayi munafik kala itu. Para priyayi yang mendapat jabatan kenegaraan justru membantu Belanda menggagalkan penyerangan ke Batavia dengan iming-iming harta dan kekuasaan. Dalam perpekstif masa kini bisa jadi Cakil-Cakil ini adalah para pejabat dan pimpinan-pimpinan daerah yang tanpa tahu malu beramai-ramai melakukan korupsi.

Cara penceritaan wayang yang berupa dongeng menpengaruhi munculnya cerita atau lakon-lakon baru pada masa itu diluar cerita Mahabharata itu sendiri. Hal ini banyak tergantung dari keinginan penguasa waktu itu guna membentuk opini publik terhadap berbagai kebijakan politik yang diambil.

Adanya beberapa karakter-karakter lain seperti Ki Lurah Semar dan para punakawan lainnya hanya dalam wayang Jawa menggambarkan betapa pentingnya peran kesenian wayang tidak hanya sebagai media hiburan semata tapi juga sebagai media dakwah atau pendidikan spiritual para cendikiawan Jawa masa itu pada masyarakat awam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline