Lihat ke Halaman Asli

Seks Bebas (Di) Antara Kita

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebenarnya saya malas tuk menceritakan tempat ini karena tempat ini sudah tidak lagi seperti yang dulu saat saya masih sering datang kesini. Masyarakat sekitar sini menyebutnya gunung walaupun menurut saya lebih pantas disebut bukit. Tak tahu kenapa setiap gundukan tanah kecil mereka sebut gunung. Tapi tak mengapa, mungkin karena di kamus bahasa Jawa tidak mengenal istilah bukit.

Saya menyukai tempat ini sejak saya masih kanak-kanak. Awalnya karena disini ada tradisi semacam ziarah setiap hari raya lebaran. Ya, di sisi sebelah timur gunung ini (saya ikut  menyebut bukit ini gunung karena penyesuaian pada namanya) ada sebuah makam leluhur dan penyebar Islam pertama kali ke wilayah ini. Hampir pasti setiap lebaran kala itu masyarakat selalu mengajak keluarganya tuk berwisata ke sini. Dengan jauhnya akses ke kota besar bisa jadi tempat ini dulu menjadi tempat tujuan wisata favorit masyarakat tuk kawasan segitiga perbatasan tiga kabupaten.

Itu dulu, era tahun 80an. Sekarang tradisi budaya itu masih ada meski sudah tidak semeriah dan semenarik dulu. Sekarang trend berwisata masyarakat sudah berubah, mereka lebih suka mengajak keluarga ke waterboom, pantai, kid fun atau sejenisnya. Tapi tidak bagi saya. Tempat ini selalu menarik untuk didatangi. Setiap ada waktu, paling tidak dua hari sekali saya pasti kesini bahkan ketika saya di tinggal di kota lain, Jakarta, Bogor, Jogja, Surabaya, maka setahun sekali atau paling tidak setiap saya mudik saya pasti kesini. Tidak ada yang indah atau istimewa dari tempat ini. Hanya bukit gersang dengan tanaman yang jarang (saya tidak mau menyebutnya gundul karena pemerintah setempat bersama Pramuka telah melakukan reboisasi hanya saja pohon-pohon yang di tanam belum tumbuh besar). Saya hanya duduk, sekedar ngrokok sambil baringan di atas batu. Kalau malam hari saya hanya melihat langit. Dan saya menikmati itu. Saya nyaman dengan keindahan sederhana dari tempat ini.
Tapi sudah hampir dua tahun saya tidak kesini. Ada sesuatu yang menghalangi keinginan saya menikmati terpaan angin dipuncak gunung ini. Sesuatu itu simple, saya ogah melihat orang pacaran disini. Bukan karena saya tidak punya pacar atau tidak ada wanita yang mau saya ajak kemari tapi saya jengah dengan gaya berpacaran pasangan-pasangan itu (kebanyakan sih ABG tapi dulu sekali waktu saya pernah menemukan pasangan umur 40an). Memang itu hak mereka tapi menurut saya kok kurang etis kalau harus mengumbar kemesraan (mungkin lebih cenderung ke mesum) di tempat umum dan terbuka. Tapi semoga saya yang salah karena dulu tidak setiap kali saya kesini menjumpai fenomena tersebut, bisa jadi waktu saya melihat hal tersebut hanyalah kebetulan. Dan sesuatu yang kebetulan tadi telah membuat saya jadi males-malesan tuk kembali menikmati bintang ditempat ini.

Ini hanyalah sedikit fenomena dari derasnya arus globalisasi, bahkan telah sampai ke tempat terpelosok seperti tempat yang saya tinggali sekarang. Lepas dari hal-hal tadi, berarti telah ada pergeseran nilai sosial budaya di masyarakat. Ada perubahan cara pandang masyarakat terhadap norma dan etika pergaulan. Sesuatu yang dulu dianggap tabu sekarang menjadi hal yang biasa dilakukan, bahkan penyanyi dangdutpun sering latah tuk menyuarakan slogan ini lewat lagu Karmila, “Pacaran ora kawin ora penak”. Kampungku sekarang sudah seperti di film-film TV. Hebat…?? Mungkin karena saya yang tidak gaul atau saya yang kampungan sehingga saya mempertanyakan hal ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline