"Akurapopo...", kata saya sambil tersenyum. Benarkah saya tidak apa-apa, tapi kenapa ada kegeraman saat saya mengucapkan kalimat tersebut ?. Bagaimana mungkin saya tidak akan marah, dua jam lebih Si Katrok terlambat mengembalikan Astrea Grand saya pada hal dari awal saya sudah mewanti-wanti kalau malam minggu ini saya mau mengajak Rina nonton. Dan, dia tahu benar kalau saya baru satu minggu pacaran, bila saya tidak on time bisa jadi Rina akan menghapus nama saya dari daftar calon suami idaman. Belum lagi masih adanya banyak saingan, yang Ninja-lah, CBR-lah, FU-lah..., seharusnya dia bisa merasakan sesuatu yang sedang mengharu-birukan perasaan saya.
Beberapa jam kemudian saya buka twiter dan terasa lucu ketika membaca te el teman-teman, mereka menggunakan hashtag yang sama, "#akurapopo". Ah, saya menangkap ini sebagai paradoks. Saya lalu bertanya pada diri saya sendiri, benarkah selama ini teman-teman saya juga baik-baik saja ketika menjawab berbagai ragam ocehan saya dengan kata, "aku ra po-po".
"Maaf, aku belum bisa bayar hutang...., Maaf, helm-mu yang aku pinjem ilang...., Maaf, makanannya aku habiskan...", dan bla bla bla setumpuk ocehan lainnya. Saya selalu bisa berlalu santai dengan kata maaf dan berpikir bahwa teman-teman akan bisa terus memahami saya. Sampai akhirnya beberapa jam yang lalu saya membakar hati dengan kata "akurapopo" atas ulah Si Katrok. Saya yang selama ini ingin selalu dimengerti dalam berbagai kondisi tetapi tidak pernah mau mendengar dan memahami keadaan orang lain. Betapa egoisnya saya selama ini. Mau menang sendiri. Yang penting saya senang. Yang lain sengsara...?? Itu derita lue...!!! Sungguh sebuah ironi.
#Akurapopo telah menampar saya. Kata ini mengisyarakatkan penyangkalan bahwa orang yang mengucapkan sebenarnya dalam keadaan sebaliknya. Sedang tidak baik, tidak nyaman, tidak berkenan tetapi berusaha menutupinya. Bahasa kias akan sebuah kejujuran dan sopan-santun. Dan, selama ini saya gagal menangkap efek imajinatif yang ingin disampaikan pengucapnya. Kini saya tahu alasan mereka mengucapkan kata "akurapopo", mungkin sama seperti alasan saya karena tidak mau ribut. Apalagi kepada teman sendiri. Melanggar kode etik persahabatan.
Berarti, selama ini tiap kata telah memaknai sendiri akan pesan yang ingin disampaikan. Seperti sebuah depe BBM salah satu teman. Ada kecemburuan dibalik "cie...cie...". Ada masalah dibalik "ga pa-pa...". Ada keinginan dibalik "terserah...". Ada kekecewaan dibalik "ya udah..." .
Praakkk...!!
Saya tertampar. Keras sekali. Lalu bagaimana dengan kata-kata Rina di telepon tadi sore ??
"Dik, sorry. Motorku masih dipake temen, kita nggak jadi nonton.....", kataku.
"Ya udah, nggak pa-pa. Terserah, kapan-kapan aja...."
"Kamu marah ya...??"
"Enggak....", jawabnya pelan.