Lihat ke Halaman Asli

Idealisme Yang Terbeli

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bicara tentang idealisme tentu kita bicara tentang subyektifitas karena setiap orang pasti memiliki keyakinan sendiri-sendiri pada apa yang dia lakukan ataupun pikirkan. Meski sebenarnya idealisme itu sendiri bersifat kaku. Jujur, saya sendiri sebenarnya juga belum tahu benar definisi dari idealisme yang sesungguhnya. Banyak teman saya bilang idealisme adalah prinsip atau keyakinan yang terus dipegan teguh. Bila saya mencoba tarik dari arti kata maka idealisme berasal dari kata idea yang berarti pemikiran dan isme yang berarti ilmu. Kalau saya artikan utuh berdasarkan wikipedia berarti ilmu yang memandang jiwa dan ide sebagai kunci ke hakekat realitas, paham yang menekankan pada ide-ide dan merendahkan hal-hal materi atau fisik, atau pendeknya berarti dunia di dalam jiwa. Tapi kalau saya coba menge-pas-pas-kan berarti suatu tindakan yang memegah teguh pada apa yang dipikirkan. Maaf, semua tadi masih sebatas olah pikir saya. Kalau anda punya arti lain mungkin itu yang lebih benar daripada yang saya ungkapkan.

Masih tentang idealisme. Saya tanya pada diri sendiri, idealisme apa yang selama ini saya jalani...? Kok,  enggak jelas begini. Seperti gabus yang terombang-ambing dilautan bernama kehidupan. Beberapa teman malah mengatakan kalau saya seperti orang tanpa cita-cita. Kehidupan monoton yang mungkin sangat membosankan bagi sebagian orang. Kerja, game, dan musik rock. Gara-gara saya nyetel volume tinggi musik metalicca ini pula, saya sering dimarahin, didiamkan, digedor-gedor pintu kamar hingga akhirnya diminta pindah oleh ibu kost. Ngomongin tentang idealisme saya yang tidak tahu arah juntrungannya tersebut, saya punya cerita pribadi yang sebenarnya biasa-biasa saja dan bisa jadi kurang menarik bagi anda semua. Tapi tetap akan saya ceritakan. Karena apa ? Karena saya tidak ingin sesuatu yang tidak menarik tersebut menjadi sampah usang yang hanya akan membuat penuh memori saya.

Pertama, di jaman dulu. Saya ada beberapa teman atau lebih tepatnya punya teman namanya Dodi, anak broadcasting. Maksud saya, dia kuliah mengambil jurusan broadcasting. Kebetulan kita satu kost. Dari Dodi inilah saya tahu apa itu film indi, film dokumenter, pokoknya semua acara-acara televisi dia bisa jelaskan semua pada saya cara membuatnya. Satu hal yang membuat saya kagum pada Dodi dan teman-temannya adalah pikiran mereka yang sangat kritis. Mereka selalu mual bahkan muntah terhadap film-film atau acara-acara televisi yang menurut mereka sangat-sangat tidak bermutu. Teramat sangat tidak bermutu karena tidak mempunyai konsep yang jelas, tidak ada pesan moral yang disampaikan, tidak ada identitas atau jatidiri bangsa, tidak mendidik,  serta membentuk atau mengarahkan penontonnya untuk melanggar etika dan norma kemasyarakatan. Sungguh idealis sekali.

Kedua, masih di jaman dulu. Saya juga mempunyai teman kuliah bernama Bowo, anak teknik. Dia seorang aktivis kampus, anggota senat yang karirnya terus melejit hingga menjadi ketua BEM. Dia berdiri di garis depan untuk melawan kebijakan-kebijakan kampus yang merugikan para mahasiswanya. Lebih dari itu, dia mampu menggerakan massa melakukan demontrasi untuk menentang keputusan-keputusan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Hati dan pikirannya kritis serta peka terhadap segala bentuk ketidakadilan. Kami semua sangat respek pada Bowo dan sangat bangga bisa menjadi bagian dari perjuangannya. Orasi-orasinya yang tercetak dimajalah kampus tidak pernah saya lewatkan membacanya. Benar-benar idealis.

Ketiga, tetap dijaman dulu. Saya berteman dengan Wawan, anak FKIP. Fakultas yang selalu saya hindari buat ditongkrongin karena kata seorang teman saya, mahasiswanya tidak modis, lugu, sense of humor-nya rendah, susah diajak demo, serta tidak bisa membedakan antara baju kuliah dan baju pantai. Namun saya sangat kagum pada Wawan. Dia orangnya tidak neko-neko, rajin belajar, tidak suka nongkrong apalagi pergi dugem. Ups, satu lagi, dia rajin ibadah. Wawan adalah tempat rujukan saat hati saya mulai cenat-cenut karena ulah cewek-cewek di kost sebelah. Kata-katanya yang sejuk bagai embun pagi membuat saya tak ragu untuk merekomendasikan dia kepada himpunan mahasiswa galau. Pernah suatu kali saya berhasil membawa Wawan ke tempat tongkrongan favorit saya, fakultas psikologi. Itu pun setelah melewati proses memohon-mohon yang sangat panjang hingga akhirnya dia mau. Saya selalu betah di tempat ini karena disinilah para bidadari-bidadari berkumpul. Saya menjadi maklum kenapa Jaka Tarub nekad mencuri selendang Dewi Nawangwulan, semaklum saya pada tingkah laku diri sendiri. Naluri laki-laki. Tapi pemakluman tersebut ternyata tidak berlaku pada Wawan, dia selalu menundukkan pandangannya. Idealis sejati.

Singkat cerita, seiring berjalannya waktu kita semua berpisah untuk menentukan jalan kehidupan masing-masing. Dodi kini bekerja di sebuah stasiun televisi swasta. Dia tidak lagi bicara tentang acara televisi yang seharusnya bagus seperti dulu lagi. Tidak ada lagi kritisi pada tayangan pertelevisian kita, apalagi tentang fungsi televisi sebagai salah satu alat untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat. Saya sengaja memancing dia untuk menanggapi acara Pesbuker, Dahsyat, YKS, Campur-Campur atau tayangan-tayangan sejenisnya. Sangat fasih sekali Dodi bicara tentang dunianya, bahwa sebagai insan televisi harus bisa menangkap pasar, harus bisa memanfaatkan momentum untuk bisa membuat sebuah acara yang laku dijual, harus bisa mengangkat rating dan sebagainya. Dengan jabatan dan penghasilan yang didapat sekarang, dia dituntut untuk terus inovatif mempertahankan sebuah acara agar tetap bisa eksis dengan spot iklan tinggi. Kini saya menjadi Dodi dijaman dulu yang mencoba beradu argumen, yang mengatakan tayangan televisi sekarang ini adalah pembodohan untuk masyarakat. Hanya mengejar keuntungan semata tanpa peduli pesan moral yang diusungnya. Dodi jawab, itu adalah bukti kreatifitas seni yang mereka miliki. Semakin kreatif maka semakin besar pula uang yang akan mereka dapatkan. Kreatif, kreatif dan kreatif.

Tinggalkan Dodi, saya lalu bertemu Bowo. Penampilan yang gagah sesuai gaya sosialita masyarakat kota. Mobil mewah lengkap dengan sopir pribadi dan ajudan. Memandang Bowo dari ujung rambut sampai ujung kaki membuat sisi feminim saya keluar bergejolak, ah tidak...tidak...tidak, walaupun jomblo saya masih tetap laki-laki normal. Bowo kini menjadi aktivis pada salah satu partai politik. Kesan hedonis sangat nampak dari berbagai aksesoris yang menempel ditubuhnya, dia tidak lagi bicara sistem yang bobrok dan korup. Mulutnya nyerocos panjang lebar tentang peta pilitik yang ada, kemungkinan-kemungkinan yang akan dia dan partainya lakukan serta banyak bla bla bla lainnya yang mampu menggerakkan kepala saya berirama naik turun. Butuh konsentrasi yang sangat tinggi untuk bisa memahami omongannya sebab terus terang otak saya sering ketinggalan tempo karena mencoba memperkirakan dimana letak titik komanya. Omongan kamu tidak ada bedanya dengan orang kumur-kumur, Wo..!! Hanya untuk mengejar kursi legislatif rela menjual harga diri untuk money politik, orasi kampanye yang berisi hasutan dan kebencian pada lawan, dan berbagai pelanggaran sistem yang dulu mati-matian kita coba tegakkan. Politik memang kejam.

Lupakan Bowo, akhirnya saya bertemu Wawan yang datang kerumah. Raut mukanya lebih cepat terlihat tua dibandingkan teman-teman yang lain. Setelah melewati tahap prosedural, obrolan basa-basi, arah pembicaraan kami sudah mulai mengarah pada topik utama maksud kedatangannya. Diawali oleh cerita Wawan tentang pernikahannya dengan istri yang juga pacar pertamanya, dulu saya mengira Wawan menikah duluan disaat kuliah belum selesai sebab dia tidak mau pacaran guna menghindari fitnah dan dosa. Saya salah, ternyata dia menikah dengan status camlude (baca: kemelud) dan meraih gelar MBA (merried by accident). Kini dia bekerja sebagai guru honorer dengan gaji yang sangat jauh dari layak. Karena tidak mau setiap hari bertengkar dengan istrinya, dia tinggal ikut mertuanya. Penghasilan yang dia dapatkan telah membuat dirinya menjadi super sensitif yang merasa tidak dihargai oleh istri, mertua dan lingkungannya. Sontak saya merasa kaget ketika dia akan menjual sawah pemberian orang tuanya sambil berkata, "Mas,aku minta tolong. Siapa tahu Mas punya kenalan orang yang bisa menjadikan saya lulus tes CPNS, aku siap pakai biaya berapa saja...". Wan, enggak salah kamu ngomong begitu pada saya...? Saya hanya seorang buruh rendahan sebuah pabrik di Jakarta, saya bisa mudik setahun sekali saja melewati proses perjuangan yang sangat melelahkan di dalam gerbong kereta api Bengawan. Bagaimana mungkin kapasitas saya yang seperti ini bisa mempunyai kenalan orang-orang bertaring seperti yang dia cari. Kalau maksud Wawan hanya mencoba menebar peruntungan dengan mengandalkan kesaktian kata "siapa tahu", sudah hilangkah dari ingatannya saat-saat kita berlari bersama menghindari gas air mata, berdarah bersama karena gebukan pentungan petugas yang membubarkan kita berunjuk rasa menentang segala bentuk KKN. Aku catat nama Wawan waktu itu dengan tinta emas karena dia anak FKIP pertama yang mau ikut demontrasi. Dia ibarat pahlawan bagi saya, beberapa petuah-petuah bijaknya sampai sekarang masih menjadi mantra saya agar bisa menjelma menjadi problem solving kehidupan. Bayangan saya tentang jalan lurus yang dia tapaki selama ini ternyata meliuk-liuk tanpa saya ketahui.

Kini dalam lalu lalang pikiran yang serba tidak jelas, saya coba hadirkan sosok Dodi, Bowo dan Wawan. Cerita kehidupan yang biasa. Gambaran dari keseharian, yang karena begitu terbiasanya menjadi tidak lagi menarik untuk diceritakan. Cerita tentang ekspresi, tentang pola, cerita yang terus berulang dan menjadi kewajaran. Orientasi kapitalis membentuk orang-orang yang menjadikan pemaksaan sebagai cara pandang efektif dalam memecahkan masalah. Ragam cerita yang telah mengerucut pada satu opini dikalangan masyarakat luas sehingga mampu merubah arti makna dari pepatah jawa, "Jer basuki mawa beya".

Lalu apa selama ini saya masih mempunyai idealisme...?

Sangat tidak fair bila saya hanya menilai orang lain tapi mengabaikan diri saya sendiri. Apakah masih pantas bagi saya membicarakan tentang idealisme bila dihadapan orang banyak mengaku rocker sejati akan tetapi tidak bisa menahan langkah kaki untuk berdiri di depan panggung menyaksikan goyangan asoy di setiap pertunjukkan dangdut. Idealisme hanya milik mahasiswa dan mereka yang baru belajar. Saya sama saja dengan teman-teman yang lain, kami adalah generasi mie instan yang menjadikan uang sebagai puncak menara gading dari kesuksesan. Kami adalah generasi nasi bungkus yang cepat puas, cepat cemas dan sulit untuk bisa berempati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline