Pada hari Senin, tanggal 12 Mei 2014 lalu, KPI Pusat mengeluarkan teguran pada Trans TV berkait tayangan di acara Bioskop Trans yang memutar film Black Hawk Down pada tanggal 13 April 2014, pukul 01.30 WIB dengan alasan tidak memperhatikan ketentuan tentang pembatasan kekerasan hanya karena pihak Trans TV tidak mengedit atau menghilangkan adegan mengambil peluru dari tubuh (jantung) yang terluka dan berdarah-darah seperti yang telah diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS).
Apa yang dilakukan oleh KPI sebagai regulator dan pengawasan siaran di Indonesia ini tentu bermaksud baik yaitu mengurangi dampak atau efek negatif yang akan ditimbulkan oleh adegan film tersebut pada penonton karena ilustrasi dari adegan film tersebut secara psikologis akan menstimulus penontonnya untuk meniru atau mengadopsi tindakan-tindakan yang ada di film tersebut. Namun mungkin KPI lupa kalau Black Hawk Down adalah film bergenre action yang tentu saja akan banyak sekali diisi adegan pertarungan dan darah sebagai jalan ceritanya. Dengan ditayangkan pada pukul 01.30 WIB, sebenarnya pihak Bioskop Trans TV sudah melakukan hal benar karena di jam tersebut sudah tidak ada lagi anak-anak yang menonton. Dengan asumsi bahwa pada jam tersebut hanya tinggal penonton dewasa saja yang masih tersisa, apa yang dilakukan KPI sebenarnya terlalu lebay karena jelas penonton dewasa mempunyai filter yang lebih baik dibanding penonton anak-anak. Penonton dewasa dianggap sebagai penonton aktif yang bisa memilah mana yang baik dan salah.
Kalau memang benar KPI mau bersikap tegas dengan melakukan pencegahan dini pada efek siaran televisi bagi masyarakat seharusnya KPI lebih fokus pada jam primetime atau di jam-jam sore hari karena di jam-jam itulah hampir seluruh bagian masyarakat mulai dari anak-anak, remaja dan dewasa sedang menyaksikan siaran televisi. Di mulai dari acara Dahsyat di RCTI, Opera Van Java di Trans 7, Pesbuker dan Campur-Campur di Anteve, YKS di Trans TV,serta beragam sinetron-sinetron lainnya. Mungkin acara-acara tersebut tidak menampilkan adegan kekerasan secara eksplisit seperti yang dimaksud KPI terhadap film Black Hawk Down akan tetapi banyak kekerasan-kekerasan simbolik yang ditampilkan terbukti dengan adanya slide tulisan bahwa adegan tersebut menggunakan properti yang aman dan tidak berbahaya. Apakah anak-anak akan berpikir sampai begitu jauh saat menyaksikan adegan-adegan tersebut mengingat anak-anak adalah penonton pasif yang belum bisa menyaring sempurna pada setiap hal yang mereka saksikan.
Lihat saja pada acara-acara tersebut, bagaimana para pengisi acaranya menghina kekurangan orang lain untuk menimbulkan kelucuan. Bahkan sering kali dengan sengaja mencari orang yang mirip dengan tokoh atau pemimpin tertentu yang mungkin mempunyai kekurangan fisik, itu bila mereka mau mengakui secara jujur (mencari orang yang jauh dari tampan dan cantik, seandainya pihak produser menjadikan artis-artis pendukungnya sebagai parameter pembandingnya) untuk ditertawakan. Dengan ditayangkan pada siang, sore ataupun primetime jelas sekali acara-acara tersebut cepat atau lambat akan menimbulkan efek negatif yang luar biasa bagi penontonnya terutama anak-anak dan remaja. Anak-anak atau remaja mempunyai daya pikir yang masih labil sehingga akan mudah merekam segala tayangan yang mereka tonton, dan ketika acara tersebut disaksikan setiap hari maka respon yang mereka terima akan mengendap dalam otak untuk menstimulus perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Seperti peniruan ucapan, gerakan dan tingkah laku yang sangat jauh sekali dari etika dan budaya tata krama bangsa Indonesia.
Lalu bagaimana dengan sinetron khususnya di televisi-televisi swasta? Sinetron-sinetron Indonesia terutama di jam primetime masih banyak berisi adegan-adegan hasutan, iri hati, dan gaya hidup hedonis. Sebegitu burukkah masyarakat negara ini sehingga seorang anak SD saja sudah mempunyai sifat iri hati dan selalu berusaha mencelakai temannya, atau anak-anak SMA yang begitu kejam memperlakukan temannya yang cacat, atau gaya hidup orang moderen dengan ciri rok mini, dugem dan apatis terhadap lingkungannya? Bila berpegang pada pepatah Ada asap pasti ada api, bisa saja kemungkinan ketika di dunia nyata ada berita tentang anak-anak SD yang menganiaya temannya adalah buah dari efek tontonan televisi yang selama ini mereka saksikan.
Orang tua jelas mempunyai peranan yang sangat besar terhadap anak-anaknya mengenai tayangan yang boleh atau tidak untuk ditonton namun berbagai kesibukan yang berbeda menjadikan tidak semua orang tua bisa mendampingi anak-anaknya saat menonton televisi. Disinilah seharusnya peran KPI sebagai lembaga pengawasan terhadap siaran televisi muncul, yaitu sebagai filter pertama untuk mencegah efek negatif dari tayangan televisi. Tidak harus menunggu aduan dalam jumlah tertentu baru dilakukan teguran, KPI seharusnya juga bisa menangkap keresahan masyarakat dalam riuh obrolan-obrolan media sosial yang membicarakan sebuah tayangan televisi, atau paling tidak orang-orang KPI menggunakan hati nurani mereka, pantaskah acara-acara tersebut ditayangkan pada siang, sore atau di primetime. Sebagaimana KPI bisa melakukan teguran pada film Black Hawk Down yang tayang pukul 01.30 WIB, semestinya KPI juga bisa melakukan hal yang sama pada acara-acara di jam-jam yang penontonnya didominasi anak-anak dan remaja. Kalau perlu dihentikan, kecuali KPI beranggapan acara-acara itulah yang cerdas, mendidik dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Alangkah lebih baik bila KPI duduk bersama dengan para pemilik stasiun televisi, produser maupun artis-artis pendukung acara tersebut. Seperti yang diketahui bersama bahwa sebagai lembaga penyiaran publik, televisi mempunyai peranan besar untuk turut mencerdaskan kehidupan bangsa melalui program-program acaranya. Meskipun uang menjadi acuan dan tujuan akhir bukan berarti meninggalkan nilai-nilai edukasi dan etika sebagai jalan pintas meraup keuntungan. Rumah produksi di Indonesia adalah gudangnya orang-orang kreatif, dengan kreatifitas mereka tentunya bisa untuk menggali potensi-potensi lokal yang lebih santun, cerdas, beretika, dan sesuai dengan kepribadian bangsa dalam membuat acara-acara televisi. Apakah masih bangga menyandang sebutan tim kreatif kalau hanya bisa merubah judul dari sebuah tayangan yang telah kena banned atau juga karya yang dihasilkan hanya plagiat dari produk orang lain? Misalnya, Empat Mata yang berganti judul Bukan Empat Mata atau sinetron Kau Yang Berasal Dari Bintang harus batal tayang karena mendapat protes dari Korea sebab menjiplak habis-habisan miniseri Korea.
Para artispun hendaknya bisa lebih jeli dalam memilih acara yang akan mereka mainkan. Sebagai pekerja dibidangnya bukan berarti mereka menuruti semua kemauan produser dan bisa berpikir dampak apa yang akan ditimbulkan pada perkataan maupun perbuatannya di acara tersebut. Dengan mempunyai rasa kerelaan untuk menanggung beban moral di masyarakat, diharapkan artis akan memberikan out put positif dan bukan semata mengejar materi serta ketenaran. Masyarakat mempunyai penilaian tersendiri terhadap artis bagaimana mereka akan dianggap dalam berbagai kategori. Slamet Raharjo, Cristine Hakim, Reza Rahardian misalnya, mereka mendapat pengakuan sebagai artis-artis nomor satu dari masyarakat lewat hasil kerja mereka bukan dari sisi penghasilan yang mereka dapatkan karena pendapatan mereka pasti akan kalah dari para pendukung acara lawak-lawakan tidak jelas yang tiap hari tayang di banyak stasiun televisi sekarang ini. Bukan pula kebanggaan pada piala seperti acara-acara award di televisi tapi dari attitude para artis tersebut yang menjadi dasar penilaian masyarakat.
Membandingkan acara televisi jaman dahulu di TVRI dengan keadaan sekarang mungkin kurang pas, tapi paling tidak ada nilai pembelajaran disana. Serial Losmen, Sartika, Rumah Masa Depan atau Jendela Rumah Kita, dimana alur cerita kehidupan keseharian nyata yang sederhana namun memiliki intrik yang tetap asyik untuk diikuti tanpa harus menjual mimpi setinggi langit kepada para penontonnya. Sedikit lebih jauh bernostalgia, tengoklah berbagai miniseri di J-Drama Jepang yang pernah ditayangkan di Indosiar saat awal-awal berdirinya. Tokyo Love Story, Ordinary People, Love Generation dan lainnya yang rata-rata hanya sebelas episode, cerita kehidupan real yang tidak muluk-muluk ataupun diluar batas kemampuan manusia tapi mampu mengharubirukan perasaan orang yang menontonnya tanpa ada karakter jahat seperti pada sinetron-sinetron Indonesia pada umumnya.
Mengharapkan penonton untuk lebih cerdas dan selektif dalam memilih acara televisi sebagai tontonan tentu saja hal yang gampang-gampang susah mengingat latar belakang dan selera dari penonton yang berbeda-beda. Disinilah perlunya peran serta aktif dari pemerintah melalui organ-organ resminya, para pemilik stasiun televisi serta produser dan artis untuk mempunyai kemauan bersama menciptakan acara yang sehat, mendidik dan penuh pesan moral kepada penontonnya tanpa meninggalkan fungsinya sebagai media hiburan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H