Apa yang lebih banyak dari bintang?
Apa yang lebih berat dari bumi?
Apa yang lebih tinggi dari langit?
Dalamnya laut bisa diukur tapi dalamnya hati tak seorangpun bisa mengira, begitulah kiranya kenapa pikiran dan keinginan manusia tak seorangpun dapat menghitung jumlahnya, setiap saat pikiran keinginan manusia terus berubah-ubah seiring waktu yang jumlahnya melebihi bintang di angkasa. Beratnya perjuangan dan kerja keras seorang ayah demi terus tegaknya rumah dan keluarganya melebihi berat bumi ini. Dan, tingginya pengorbanan seorang ibu untuk kehormatan rumah dan keluarganya melebihi tingginya langit. Terlepas dari ketiga pertanyaan beserta jawabannya tersebut mungkin bisa diambil kesimpulan bahwa di tengah banyak pikiran dan keinginan namun orang tua tetap mempunyai ketetapan keinginan yang terus sama dari waktu ke waktu yaitu kasih sayang, kebahagiaan dan kesuksesan untuk keluarga atau anak-anaknya.
Tak terhitung kiranya jumlah tips, nasehat dan cara mendidik anak untuk menjadi karakter yang bisa diterima dalam norma masyarakat. Anak sebagai tumpahan kasih sayang orang tua, sekaligus akan menjadi harapan untuk mengangkat status sebuah keluarga dalam lingkungan sosial dengan parameter kondisi yang disebut "kesuksesan" yang didasarkan dari harta dan pekerjaan. Dan, demi mewujudkan kondisi tersebut seringkali akan mudah dijumpai atau pun mendengar ada orang tua yang rela mengeluarkan uang ratusan juta rupiah agar anaknya bisa diterima pada suatu pekerjaan tertentu bahkan banyak yang menganggap hal tersebut sebagai sebuah kebanggaan dengan menceritakan tindakannya itu bagaikan kisah heroik tentang perjuangan seorang superhero untuk keluarga. Tugas anak untuk "mikul duwur, mendhem jero" nama orang tuanya dianggap terpenuhi separuhnya.
Lalu bagaimana generasi yang akan dihasilkan? Apakah kasih sayang orang tua tersebut salah? Pertanyaan yang begitu mudah dijawab secara normatif, bahkan bila kesempatan itu ada pasti selalu ada jawaban untuk pemaklumannya. Demi harapan agar anak bisa "mikul duwur, mendem jero" tersebut, sering kali orang tua melupakan "anak polah, bapa kepradah". Bahwa segala tingkah laku buruk anak akan berimbas pada nama baik orang tuanya.
Adalah sebuah cerita kecil dari epos Mahabharata tentang Aswatama, putra guru Drona. Dia sangat disayangi dan dimanja oleh kedua orang tuanya. Dronacarya selalu berusaha menuruti keinginan anaknya meskipun itu harus dilakukan secara susah payah. Meskipun dikenal sebagai brahmana hebat dan sakti, kehidupan Drona sangatlah miskin. Aswatama kecil hampir tidak pernah merasakan lezatnya makanan dan susu. Setiap menanak nasi, sang ibu selalu mengambil airnya untuk diberikan pada Aswatama dengan mengatakan kalau itu adalah susu.
Suatu hari Aswatama membawa keluar botol minumnya yang berisi air tajin tersebut ke tempat teman-temannya sambil berteriak, "Hore, aku punya susu...! Aku punya susu...!". Melihat hal tersebut orang-orang menertawakan Aswatama dan menjadikannya bahan ejekan yang membuat Drona marah. Meskipun Drona mempunyai pengetahuan tinggi pada kitab suci, ternyata tidak menghalangi niatnya untuk membalas perlakuan orang-orang tersebut dengan ingin menjadikan Aswatama seorang yang bergelimang harta. Dia pun membuka sekolah kemiliteran hanya untuk para anak-anak raja. Semua harta pemberian istana dia berikan pada Aswatama hingga akhirnya membentuk kepribadian Aswatama sebagai seorang yang sombong dan egois.
Lebih dari itu, Drona berhasil menjadikan anaknya sebagai seorang raja dengan cara merebut separuh wilayah Panchala dari tangan Drupada, sahabatnya di masa kecil yang berhasil menjadi raja, karena dendam pernah menghina kemiskinannya waktu dia datang guna meminta susu untuk anaknya namun dijawab dengan sombong oleh Drupada, "Persahabatan, adalah mungkin jika hanya terjadi antara dua orang dengan taraf hidup yang sama, mustahil sekarang seorang raja berteman dengan orang miskin. Datanglah sebagai seorang peminta-minta maka akan kuberikan apa yang kau inginkan...!".
Kasih sayang yang berlebihan pada anaknya tanpa disadari menjadi titik kelemahan Drona. Dia mengabaikan hati nuraninya dengan berdiri sebagai panglima tempur Hastinapura saat terjadi perang Bharatayuda setelah gagal menasehati anaknya untuk yang terakhir kali. Tali pertemanan Aswatama dengan Duryudana telah menyeretnya ke medan perang hanya semata ingin melindungi anaknya dari senjata musuh. Kasih sayang buta akhirnya membuat Drona terbunuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H