Hi Kompasianer!
Ada riak gelisah yang memancar dari bukit tambang Bolivia hingga ke gedung-gedung parlemen Eropa, menyeberangi lautan menuju Washington dan Beijing. Seperti sebuah lakon penuh intrik, "Mineral Wars" tidak lagi menjadi sekadar rumor. Ia kini berdiri di jantung perebutan kepentingan global: memicu gesekan geopolitik, pertarungan korporasi, dan pada akhirnya menentukan nasib jutaan warga biasa.
Bayangkan skenario ini: di Bolivia, negara Andean yang merayakan dua abad kemerdekaan, ada tumpukan 23 juta ton lithium yang diam membisu di bawah dataran garam. Seolah gunung emas di masa lampau, cadangan itu begitu menggoda. Cuitan Elon Musk, "Kami akan kudeta siapa pun yang kami mau!" menggelegar bak petir di langit La Paz. Boleh jadi sang miliarder berdalih bergurau. Namun, di telinga rakyat Bolivia, cuitan itu terdengar sebagai gong penegas bahwa aset mineral mereka merupakan rebutan kekuatan besar.
Di tempat lain, Ukraina menambah babak baru dalam kisah pelik geopolitik. Konflik negeri Eropa Timur ini tidak semata dilukiskan lewat arak-arakan pasukan dan artileri berat. Senator Lindsey Graham membuka "kotak rahasia" dengan menyebut bahwa Amerika Serikat "tak mampu membiarkan Rusia menguasai kekayaan mineral Ukraina." Sontak orang menengok pada apa yang terkandung di bawah tanah: lithium, beryllium, niobium, zirconium, hingga rare earth. Proyeksi nilainya mencapai triliunan dolar. Tak heran, segala manuver politik pun menyeret isu mineral.
Dari sanalah sandiwara global menunjukkan giginya. Lihat saja bagaimana Donald Trump pernah melontarkan niat "membeli" Greenland kawasan seluas dua juta kilometer persegi demi mengamankan jalur pasok logam tanah jarang, uranium, hingga potensi tambang lain yang masih terselubung es. Gaya retorika Trump mungkin menuai cemoohan, tetapi di baliknya ada pesan jelas: Amerika Serikat membutuhkan sumber daya masa depan, apa pun ongkosnya.
Sementara itu, Tiongkok, sebagai negara yang sudah lama menguasai lebih dari separuh produksi rare earth dunia, menyalurkan pinjaman bersubsidi untuk proyek infrastruktur di Republik Demokratik Kongo, Guinea, hingga Zimbabwe. Wilayah-wilayah ini memiliki kobalt, bauksit, dan lithium yang melimpah. Seperti nada-nada sumbang yang menari di balik panggung, diplomasi Tiongkok mengalir: pinjaman ditebar, imbalan berupa konsesi tambang disegel. Negara-negara di Afrika pun kerap menghadapi dilema: apakah menerima "tangan terbuka" itu, ataukah menolak dan memendam potensi konflik internal?
Di Iran, bayangan sanksi Barat sejak 1979 seakan berkelindan dengan kabar penemuan 8,5 juta ton lithium pada 2023. Nilai sumber daya mereka ditaksir mencapai 27 triliun dolar AS. Kalau kita merujuk pada metode investigasi Steve Coll, jelas tergambar korporasi besar migas dan tambang tak henti-hentinya melobi petinggi di Washington dan Brussels, mencari cara agar "pintu" ke ladang minyak-gas dan deposit logam strategis Iran terbuka walau diterpa embargo.
Kisah di Afrika juga tak kalah dramatis. Republik Demokratik Kongo, kaya akan enam juta ton kobalt, bergelimang konflik yang mengorbankan warga sipil. Guinea, produsen bauksit terbesar kedua dunia, kerap diguncang kudeta sejak 1984. Zimbabwe, yang punya 11 juta ton lithium, mencoba merangkak keluar dari krisis ekonomi pasca-kudeta 2017. Kenya, menyimpan rare earth senilai lebih dari 60 miliar dolar AS, tiba-tiba saja mendapatkan status "sekutu utama non-NATO" dari Washington. Diplomat mungkin berkilah ini bagian dari upaya menanam pengaruh, tetapi banyak analis meyakini mineral adalah kata kunci.
Di sudut "barat laut," Kanada menghadirkan potensi sumber daya senilai 33 triliun dolar AS. Hingar-bingar komentar Trump yang menyebut Kanada bisa menjadi "negara bagian ke-51" Amerika Serikat terdengar kocak. Namun, di bawah panggung, pembisik strategi energi di Washington menilai Kanada adalah salah satu penyuplai minyak, gas, dan uranium yang paling diandalkan.
Bagaimana dengan Indonesia? Nikel berlimpah di Sulawesi dan Maluku Utara, timah di Bangka-Belitung, bauksit di Kalimantan Barat, serta potensi rare earth di beberapa lokasi. Sudah sepantasnya kita tidak semata menjadi penyedia bahan mentah. Larangan ekspor bijih nikel mentah menandakan langkah menuju hilirisasi, tapi sederet tantangan mengintai: pengawasan lingkungan, korupsi perizinan, dan keterbatasan teknologi smelter. Kita sudah meneguk pengalaman pahit di masa silam ketika sumber daya alam besar justru menjadi "ladang subur" korupsi dan kesenjangan.
Jika menilik lintasan sejarah, mineral kerap menjadi pintu bagi aneka lakon: memancing "pesta" investasi atau justru menyalakan "tari perang." Bukan mustahil, "Mineral Wars" tak akan surut selama transisi energi dan perkembangan teknologi hijau berjalan kencang. Di balik meja perundingan, korporasi dan diplomat dunia saling mengintip celah; perjanjian dagang, embargo, bahkan lobi untuk menggulingkan pemerintahan lokal berbaur menjadi satu.
Di sinilah Indonesia perlu tegak berdiri. Hilirisasi saja tidak cukup. Kita butuh tata kelola ketat, kerja sama internasional yang adil, dan kejelasan arah siapa yang paling diuntungkan oleh eksploitasi tambang. Pelajaran dari Bolivia, Venezuela, atau Ukraina menunjukkan bahwa langkah ceroboh dalam menjalin kemitraan bisa berbuah instabilitas politik dan kebuntuan ekonomi. Gagal mengantisipasi hal itu dapat menyeret kita ke pusaran "kutukan sumber daya."
Akhirnya, perebutan mineral adalah realitas yang menggabungkan kepentingan besar, lobi korporasi, dan mimpi masyarakat akar rumput akan kehidupan yang lebih baik. Tak ada naskah tunggal untuk menyelesaikan sengkarut ini. Ada baiknya kita belajar dari rangkaian drama sejarah berusaha bersiasat, memastikan hasil tambang berdampak positif bagi kesejahteraan bangsa, sembari menjaga lingkungan. Dengan begitu, kita tak sekadar menjadi saksi perebutan rampasan, melainkan menjadi tuan rumah yang berdaulat atas harta di perut bumi sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H