Lihat ke Halaman Asli

Efatha F Borromeu Duarte

Ilmu Politik Unud, Malleum Iustitiae Institute

Apakah Sains Diam Diam Membunuh Keberadaan Tuhan?

Diperbarui: 15 Desember 2024   15:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber gambar: Istimewa)

Hi Kompasianer!

Dalam perjalanan panjang peradaban manusia, sains dan agama sering kali dianggap sebagai dua kekuatan yang saling bertentangan. Seperti dua sungai besar yang mengalir dengan arah berlawanan, keduanya sering digambarkan seolah tidak mungkin bertemu. Sains, dengan alat ukur, logika, dan eksperimen, berbicara tentang fakta. Agama, di sisi lain, menawarkan makna, misteri, dan pengalaman transenden. Tetapi, benarkah keduanya selalu bertolak belakang? Ataukah konflik ini hanya ilusi yang muncul dari pemahaman yang dangkal?


Sains dan Agama: Mengapa Harus Memilih, Jika Keduanya Bisa Bersinergi?

"Halah, agama itu kuno. Sains sudah menjelaskan segalanya!" 

Begitu sering kita mendengar argumen ini dari orang-orang yang terlalu cepat merasa paham segalanya. Tapi, tunggu dulu. Apa benar sains sudah menjawab semua pertanyaan? Orang-orang seperti itu seringkali lupa bahwa sains, sehebat-hebatnya, hanya menjelaskan "bagaimana" dunia bekerja. Hukum gravitasi menjelaskan bagaimana apel jatuh dari pohon. Evolusi menunjukkan bagaimana makhluk hidup berkembang. Big Bang mengungkap bagaimana alam semesta bermula. Tapi, apakah semua itu menjawab pertanyaan yang lebih besar: mengapa alam semesta ini ada? Mengapa manusia merasa kagum terhadap keteraturan semesta? Jika kita berpikir bahwa menemukan mekanisme berarti meniadakan tujuan, maka maaf, kita mungkin sedang meremehkan kedalaman eksistensi manusia. Bahkan Newton, Einstein, dan banyak ilmuwan besar lainnya tidak pernah mengklaim bahwa sains adalah akhir dari segalanya.

Isaac Newton, dalam karyanya Philosophi Naturalis Principia Mathematica (1687), memberikan kita hukum gravitasi. Ia menjelaskan bagaimana apel jatuh dan planet-planet berputar. Tapi, apakah Newton berhenti di situ? Tidak. Newton adalah seorang yang religius. Baginya, hukum-hukum alam justru adalah bukti keberadaan Tuhan. Newton tidak pernah menyombongkan dirinya sebagai orang yang "memecahkan" misteri alam. Ia justru berkata, "Gravitasi menjelaskan gerakan planet, tetapi tidak dapat menjelaskan siapa yang mengatur planet-planet ini untuk bergerak."

Francis Collins, seorang ilmuwan terkemuka yang memimpin Human Genome Project, menulis dalam The Language of God: A Scientist Presents Evidence for Belief (2006) bahwa sains dan agama berbicara dalam dua bahasa yang berbeda. "Sains mungkin menjelaskan mekanisme, tetapi agama memberikan makna," tulisnya. Jadi, jika Anda menganggap bahwa hukum gravitasi atau mekanika kuantum telah menghapus Tuhan, mungkin kita perlu membaca ulang Newton, bukan sekadar hafal hukum gravitasi, tetapi juga memahami visinya tentang keteraturan semesta.


Big Bang

Ketika teori Big Bang pertama kali diajukan oleh Georges Lematre pada 1927, banyak yang menolak gagasan tersebut. Mengapa? Karena Big Bang menyiratkan bahwa alam semesta memiliki awal, dan itu terlalu mirip dengan narasi agama tentang penciptaan. Tapi lihat sekarang. Big Bang diterima sebagai salah satu teori paling kokoh dalam kosmologi modern. Edwin Hubble membuktikan bahwa alam semesta mengembang pada 1929, dan bukti radiasi latar belakang kosmik ditemukan pada 1965 oleh Arno Penzias dan Robert Wilson. Semua ini menunjukkan bahwa alam semesta bermula dari singularitas kecil yang meledak menjadi kosmos yang kita kenal sekarang.

Bahkan Robert Jastrow, dalam bukunya God and the Astronomers (1978), dengan jujur mengakui dilema ilmuwan modern. Ia berkata, "Pada akhirnya, kita mendapati diri kita di hadapan pertanyaan yang selama ini diajukan agama." Bukankah ini ironis? Mereka yang ingin menjauhkan Tuhan justru menemukan bahwa sains membawa mereka kembali ke pertanyaan eksistensial tentang penciptaan.


Fine-Tuning, Alam Semesta yang "Terlalu Sempurna" untuk Kebetulan

Francis Collins dalam The Language of God (2006) berbicara tentang fine-tuning---fenomena di mana parameter-parameter kosmologis seperti konstanta gravitasi dan kecepatan cahaya begitu presisi sehingga memungkinkan kehidupan. Jika konstanta-konstanta ini sedikit saja berbeda, tidak akan ada bintang, planet, atau kehidupan. Apakah ini kebetulan? Collins berkata, "Jika Anda menemukan sebuah taman yang begitu rapi, Anda tidak akan berpikir bahwa taman itu muncul begitu saja tanpa tukang kebun." Para ateis mungkin berkata, 

"Mungkin, itu cuma keberuntungan kosmik!" 

Tapi, betulkah? Bahkan ateis seperti Fred Hoyle, yang menciptakan istilah "Big Bang" sebagai ejekan, mengakui bahwa alam semesta ini terlalu presisi untuk kebetulan. Dalam The Universe: Past and Present Reflections (1982), Hoyle menulis, "Tampaknya ada seseorang yang menyetel parameter-parameter fisika dengan sangat hati-hati untuk memungkinkan kehidupan."


Evolusi

Ketika Charles Darwin menerbitkan On the Origin of Species (1859), ia memperkenalkan teori seleksi alam yang menunjukkan bagaimana spesies berubah melalui proses adaptasi yang gradual. Buku ini segera memantik kontroversi, khususnya dari kalangan yang memandang narasi penciptaan dalam Kitab Kejadian sebagai fakta literal. Banyak yang salah memahami evolusi sebagai penolakan terhadap Tuhan. Namun, Darwin sendiri dalam edisi pertama bukunya menulis:


"Ada sesuatu yang agung dalam pandangan hidup ini... bahwa hukum-hukum alam telah diatur oleh Sang Pencipta." (On the Origin of Species, 1859, p. 490)


Pernyataan ini menunjukkan bahwa Darwin tidak pernah secara eksplisit menyangkal peran Tuhan. Ia hanya menawarkan mekanisme ilmiah untuk menjelaskan proses kehidupan, bukan menggantikan kepercayaan terhadap Pencipta.


Dalam Finding Darwin's God: A Scientist's Search for Common Ground Between God and Evolution (1999), Kenneth R. Miller, seorang ahli biologi dan Katolik taat, menegaskan bahwa evolusi bukan ancaman bagi agama. Sebaliknya, ia melihat evolusi sebagai cara Tuhan bekerja dalam ciptaan-Nya. Miller berargumen bahwa DNA manusia adalah bukti luar biasa dari kreativitas Tuhan. Ia menyebutnya sebagai "tulisan panjang Tuhan" yang menunjukkan bagaimana kehidupan berkembang dari bentuk sederhana menuju kompleksitas yang luar biasa. Ia menulis:


"Proses evolusi tidak mengurangi kehadiran Tuhan. Sebaliknya, ia memperlihatkan kecemerlangan-Nya." (Finding Darwin's God, 1999, p. 258)


Miller juga mengkritik gerakan Intelligent Design (ID), menyebutnya sebagai upaya mengganti sains dengan teologi yang tidak dapat diuji secara empiris. Baginya, evolusi itu sendiri adalah bukti kebesaran Tuhan, tanpa perlu teori alternatif yang tidak ilmiah.

Francis Collins, yang memimpin Human Genome Project, memberikan pandangan serupa dalam bukunya The Language of God: A Scientist Presents Evidence for Belief (2006). Collins menyatakan bahwa evolusi adalah alat yang digunakan Tuhan untuk menciptakan kehidupan. Ia menulis:


"Mutasi genetik dan seleksi alam tampak seperti proses acak, tetapi sebenarnya mereka adalah bagian dari rencana Tuhan yang lebih besar." (The Language of God, 2006, p. 123)


Collins juga menggunakan contoh fine-tuning alam semesta untuk menunjukkan bahwa Tuhan tidak hanya menciptakan hukum-hukum alam, tetapi juga merancang alam semesta sedemikian rupa sehingga memungkinkan kehidupan berkembang secara alami.

Pada tahun 1996, Paus Yohanes Paulus II menyampaikan pidato bersejarah kepada Akademi Ilmu Pengetahuan Vatikan. Dalam pidato tersebut, ia menggemakan pandangan Gereja yang mengejutkan banyak pihak, terutama di tengah ketegangan antara sains dan agama. Dengan penuh keyakinan, ia menyatakan bahwa teori evolusi adalah "lebih dari sekadar hipotesis."

Pernyataan ini bukan hanya pengakuan terhadap validitas ilmiah evolusi, tetapi juga menandai langkah besar Gereja dalam menjembatani sains dengan iman. Sang Paus menegaskan bahwa evolusi, yang didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang kokoh, tidak bertentangan dengan kepercayaan akan Tuhan sebagai Pencipta. Namun, ia memberikan penekanan penting:


"Jika tubuh manusia berasal dari materi yang telah ada sebelumnya, jiwa spiritual adalah hasil langsung dari tindakan penciptaan Tuhan." (Message to the Pontifical Academy of Sciences on Evolution, 1996, p 3)


Bagi Yohanes Paulus II, tubuh manusia memang dapat dijelaskan melalui proses evolusi, tetapi jiwa manusia adalah entitas yang unik. Jiwa, dalam pandangan Gereja, tidak muncul dari proses alami atau hasil evolusi materi. Jiwa adalah ciptaan langsung Tuhan, sebuah anugerah yang melampaui dunia fisik dan membawa manusia ke dalam hubungan yang mendalam dengan Sang Pencipta.

Pidato tersebut menegaskan bahwa Gereja Katolik tidak memusuhi evolusi, seperti yang sering diasumsikan dalam sejarah. Sebaliknya, Gereja mengakui bahwa sains memiliki peran penting dalam mengungkap mekanisme alam. Yohanes Paulus II menunjukkan bahwa iman tidak perlu takut kepada kebenaran ilmiah, karena kebenaran ilmiah dan kebenaran ilahi berasal dari sumber yang sama: Tuhan sendiri. Memang, Gereja tetap berpegang teguh pada pemahaman teologis bahwa manusia tidak hanya terdiri dari tubuh, tetapi juga memiliki jiwa spiritual yang menjadi inti keberadaan. Dalam perspektif ini, evolusi tidak menghilangkan nilai kemanusiaan, melainkan justru memperlihatkan keajaiban bagaimana Tuhan bekerja melalui hukum-hukum alam.

Pernyataan Yohanes Paulus II bukan hanya tentang penerimaan evolusi, tetapi juga ajakan untuk melihat bahwa sains dan agama tidak harus saling bertentangan. Evolusi, bagi Gereja, bukanlah ancaman, melainkan undangan untuk merenungkan kebesaran Tuhan yang menciptakan dunia dengan cara yang begitu agung dan penuh misteri. Dengan sikap ini, Gereja menunjukkan bahwa iman tidak menghambat pencarian pengetahuan, tetapi memberikan makna mendalam pada penemuan tersebut. Seperti yang sering ditekankan oleh Yohanes Paulus II, 

"Iman dan akal budi adalah dua sayap yang dengannya jiwa manusia terbang menuju kebenaran."

Ketidakpastian yang Membuka Ruang bagi Tuhan

Fisika kuantum adalah bidang yang sering disalahpahami. Prinsip ketidakpastian Heisenberg (1927) menyatakan bahwa kita tidak dapat mengetahui posisi dan momentum partikel secara bersamaan dengan presisi sempurna. Apakah ini berarti dunia penuh kekacauan? Tidak. Diarmuid O'Murchu dalam Quantum Theology: Spiritual Implications of the New Physics (1997) melihat ketidakpastian ini sebagai ruang di mana Tuhan bekerja secara kreatif. Ketidakpastian bukanlah kekacauan, melainkan kebebasan. Teori quantum entanglement, di mana dua partikel tetap terhubung meskipun terpisah jarak, mencerminkan gagasan teologis bahwa segala sesuatu saling terhubung. John Polkinghorne dalam Science and Theology: An Introduction (1998) menyebut ini sebagai bukti bahwa alam semesta memiliki "kedalaman misterius" yang tidak dapat dijelaskan oleh sains semata.


Relativitas Waktu

Albert Einstein, dalam teori relativitasnya, menunjukkan bahwa waktu itu relatif. Waktu bisa melambat atau bahkan berhenti tergantung pada gravitasi dan kecepatan. Pandangan ini mengingatkan kita pada konsep teologis tentang Tuhan sebagai Alfa dan Omega, yang melampaui waktu. Dalam iman Katolik, Tuhan digambarkan sebagai kekal, yang tidak terikat oleh waktu. Sains modern, alih-alih menentang gagasan ini, justru mendukungnya. Waktu yang kita kenal hanyalah bagian kecil dari realitas yang lebih besar. Dengan demikian, dialog antara fisika sains dan teologi tidak hanya memungkinkan pemahaman baru tentang realitas, tetapi juga mendorong manusia untuk mendekati Tuhan dengan kerendahan hati yang lebih besar. 

Di tengah misteri alam semesta yang terus terungkap, pandangan O'Murchu di atas mengingatkan bahwa ketidakpastian adalah panggilan untuk beriman, sebuah pengakuan terhadap keajaiban yang melampaui apa yang dapat kita pahami. Konteks Sejarah Gereja Sejarah juga menunjukkan bahwa Gereja Katolik bukanlah "musuh" sains seperti yang sering dipahami secara keliru. Galileo Galilei memang berkonflik dengan Gereja Katolik terkait pandangan heliosentrisnya (bahwa bumi berputar mengelilingi matahari). Sebaliknya, konflik ini bukan sepenuhnya tentang doktrin agama melawan sains. Berikut adalah konteks yang lebih lengkap:

  1. Perspektif Gereja pada Abad ke-17: Pada masa Galileo, pandangan geosentris (bahwa bumi adalah pusat alam semesta) yang diajukan oleh Ptolemeus telah menjadi konsensus ilmiah selama lebih dari seribu tahun. Gereja mendukung pandangan ini karena sesuai dengan interpretasi literal dari Kitab Suci yang digunakan secara luas pada masa itu.

  2. Dinamika Politik dan Kepribadian: Konflik Galileo tidak hanya berkaitan dengan pandangan ilmiah, tetapi juga dengan dinamika politik dan kepribadian. Buku Galileo, Dialogue Concerning the Two Chief World Systems, dianggap menyerang beberapa tokoh gereja secara pribadi, sehingga memicu reaksi negatif.

  3. Fakta Sejarah: Meskipun dihukum tahanan rumah, Galileo tetap diizinkan melanjutkan penelitiannya dan menyelesaikan beberapa karya besar. Gereja kemudian mengakui kesalahannya pada abad ke-20. Pada 1992, Paus Yohanes Paulus II secara resmi merehabilitasi Galileo dan menyatakan bahwa Gereja telah salah memahami konteks ilmiah pada masa itu.

Kontribusi Gereja dalam Ilmu Pengetahuan

Meskipun ada konflik seperti kasus Galileo, Gereja Katolik memiliki kontribusi signifikan dalam perkembangan ilmu pengetahuan:

  1. Observatorium Vatikan: Gereja Katolik mengelola Observatorium Vatikan, salah satu institusi penelitian ilmiah tertua yang masih aktif hingga hari ini. Para imam Jesuit yang bekerja di observatorium ini telah berkontribusi pada berbagai penemuan astronomi dan pengembangan kalender modern.

  2. Sumbangan dalam Pendidikan dan Penelitian: Banyak universitas pertama di Eropa, seperti Universitas Bologna dan Universitas Paris, didirikan oleh Gereja Katolik. Institusi-institusi ini menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan pada Abad Pertengahan.

  3. Tokoh Ilmuwan Katolik:

    • Gregor Mendel: Seorang biarawan Katolik yang dikenal sebagai "bapak genetika."

    • Georges Lematre: Seorang imam Katolik yang kita bahas sebelumnya ternyata memang yang pertama kali mengajukan teori Big Bang, menyatakan bahwa alam semesta berkembang dari sebuah "atom purba."

Dengan demikian, fakta sejarah menunjukkan bahwa Gereja Katolik lebih sering menjadi pendukung ilmu pengetahuan daripada musuhnya. Meskipun terdapat momen-momen konflik, seperti kasus Galileo, sebagian besar sejarah menunjukkan kolaborasi yang saling memperkaya antara sains dan iman. Mari kita telusuri dalam konteks Indonesia, kontribusi pemikir Katolik seperti Y.B. Mangunwijaya menambah dimensi unik dalam hubungan antara iman dan ilmu. Dalam Burung-Burung Manyar, Mangunwijaya menggambarkan bagaimana refleksi spiritual dapat berjalan seiring dengan perkembangan intelektual. Ia mengajarkan bahwa iman tidak menghalangi kemajuan ilmu, tetapi justru menjadi inspirasi untuk memahami dunia secara mendalam.

Franz Magnis-Suseno juga menambahkan perspektif penting dalam diskusi ini. Sebagai teolog Katolik, ia menyoroti pentingnya etika dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern. Dalam pandangannya, sains yang tidak diarahkan oleh nilai-nilai moral akan kehilangan makna. Pemikiran Magnis-Suseno memberikan kerangka bagaimana agama dapat memandu perkembangan sains agar tetap humanis dan tidak destruktif.


Lompatan Iman

Sorn Kierkegaard, filsuf eksistensialis, memperkenalkan konsep "lompatan iman" (leap of faith). Dalam pandangannya, iman bukanlah hasil dari bukti empiris, tetapi sebuah keputusan eksistensial yang melampaui rasionalitas. Kierkegaard menekankan bahwa pengalaman manusia terhadap Tuhan adalah sesuatu yang bersifat subjektif, mendalam, dan tidak bisa direduksi menjadi sekadar argumentasi logis. Baginya, sains dan agama bukanlah entitas yang saling meniadakan, melainkan dua dimensi yang menuntut keberanian untuk menghadapi misteri. "Iman," tulis Kierkegaard, "adalah hasrat yang menggenggam ketakterbatasan, tetapi juga keberanian untuk berdiri di hadapan ketidakpastian."

Kierkegaard memandang bahwa iman bukanlah langkah yang "buta" tanpa dasar, tetapi tindakan yang penuh kesadaran terhadap keterbatasan akal. Dalam konsep ini, manusia diundang untuk melangkah ke dalam sesuatu yang tidak pasti, bukan karena bukti yang cukup, melainkan karena keyakinan bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Di sinilah agama menawarkan jawaban yang tidak bisa diberikan oleh sains. Jika sains menjelaskan "bagaimana" alam semesta bekerja, agama menjawab "mengapa" manusia ada di dalamnya.

Dalam dialog antara sains dan agama, konsep lompatan iman ini memberikan perspektif yang relevan dan kritis. Sains mungkin menawarkan jawaban terhadap banyak misteri alam semesta, dari asal-usul materi hingga mekanisme biologis kehidupan, tetapi pertanyaan mendalam seperti "mengapa kita ada?" atau "apa tujuan kita?" tetap berada di luar jangkauan ilmiah. Sebagaimana dinyatakan dalam Roma 1:20, "Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat tampak kepada pikiran melalui karya-Nya sejak dunia diciptakan." Ayat ini menggarisbawahi bahwa pengamatan manusia terhadap alam semesta dapat menuntun pada pengakuan akan keberadaan Tuhan.

Lebih dari itu, Kierkegaard mengingatkan kita bahwa iman adalah pengakuan terhadap keterbatasan akal manusia. Ketika akal manusia mencapai batasnya dalam memahami fenomena alam dan realitas eksistensial, iman muncul sebagai respons terhadap panggilan transenden yang tidak bisa dijelaskan sepenuhnya dengan logika. Dalam konteks ini, sains tidaklah bertentangan dengan iman, tetapi justru menyiapkan panggung bagi manusia untuk mengambil lompatan menuju kepercayaan pada sesuatu yang lebih besar.

Nilai Spirit Kehidupan

Kita ambil contoh mengenai harmoni Nusantara Budaya Nusantara yang tentunya memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan dapat membentuk keberlanjutan kehidupan. Salah satu konsep lokal yang mencerminkan sinergi ini adalah "Tri Hita Karana" dari Bali, yang menekankan tiga hubungan utama: manusia dengan Tuhan (parahyangan), manusia dengan sesama (pawongan), dan manusia dengan alam (palemahan). Prinsip ini sejalan dengan pendekatan modern yang menyatukan sains dan agama untuk mendukung keberlanjutan ekologi global.

Sebagai salah satu contoh konkret, sistem subak di Bali tidak hanya dianggap sebagai metode irigasi tradisional, tetapi juga sebagai wujud harmonisasi antara teknologi, masyarakat, dan spiritualitas. Subak menggunakan pengaturan air yang berbasis teknis, dipadukan dengan struktur sosial komunitas petani, serta dilandasi oleh nilai-nilai keagamaan yang menghormati Dewi Sri, dewi kesuburan dalam tradisi Hindu Bali. UNESCO bahkan menetapkan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, mengakui bagaimana warisan lokal ini mengintegrasikan aspek teknis dan spiritual secara unik.

Modernisasi praktik lokal ini juga terlihat dalam pendekatan agroekologi di Indonesia, di mana metode tradisional sering kali dipadukan dengan teknologi berbasis data ilmiah. Misalnya, pemanfaatan teknologi satelit untuk memantau distribusi air irigasi telah membantu menjaga efektivitas sistem pertanian tanpa meninggalkan nilai-nilai kearifan lokal. Dalam skala yang lebih luas, pengelolaan kawasan hutan adat seperti di Kalimantan dan Papua juga mencontohkan bagaimana manusia dapat mengintegrasikan konservasi ilmiah dengan penghormatan kepada adat dan keyakinan spiritual. Prinsip ini menggambarkan harmoni yang mendalam antara iman dan ilmu pengetahuan. Jika ilmu modern sering kali berfokus pada eksploitasi alam, maka kearifan lokal Nusantara mengajarkan pentingnya keseimbangan. 

Keajaiban Ciptaan

Mazmur 19:2 menyatakan, "Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya." Dalam ayat ini, semesta bukan hanya sekumpulan benda mati yang dipelajari oleh sains, tetapi sebuah kitab besar yang berisi tanda-tanda kehadiran Allah. Ayat-ayat serupa seperti Mazmur 8:4-5, "Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya?" menunjukkan rasa takjub manusia terhadap keagungan ciptaan, dan menghubungkan kekaguman itu kepada Sang Pencipta.

Katekismus Gereja Katolik (KGK 282) juga mengajarkan bahwa pertanyaan tentang asal-usul dunia adalah salah satu pertanyaan fundamental yang melampaui sains semata. Gereja mengakui bahwa "penyelidikan tentang asal-usul ini dapat mendekatkan manusia kepada Sang Pencipta, karena Tuhan yang menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan."

Santo Thomas Aquinas dalam Summa Theologica mengajarkan tentang lima jalan untuk membuktikan keberadaan Tuhan, salah satunya melalui gerakan dalam alam semesta. Segala sesuatu yang bergerak membutuhkan penggerak pertama, dan penggerak itu adalah Tuhan (KGK 34). Dalam hal ini, sains yang mengungkapkan mekanisme kosmos justru menegaskan keberadaan Tuhan sebagai penyebab awal dari segala sesuatu.

Melampaui Jawaban

Albert Einstein pernah berkata, "Ilmu tanpa agama lumpuh; agama tanpa ilmu buta." Barangkali, sains dan agama tidak akan pernah menyatu dalam satu narasi tunggal. Menariknya, dalam ketegangan kreatif antara fakta empiris dan makna metafisik, manusia dapat menemukan sesuatu yang lebih besar dari sekadar jawaban.

Apakah kita akan terus memandang keduanya sebagai musuh? Atau, seperti Galileo yang melihat bintang-bintang, Santo Thomas yang merefleksikan Logos, dan Kierkegaard yang menyerukan keberanian iman, kita akan menemukan bahwa sains dan agama hanyalah dua jalan menuju sumber yang sama -- Sang Pencipta yang tak terhingga. Langit malam penuh bintang tidak hanya memanggil ilmuwan untuk menghitung, tetapi juga mengundang manusia untuk bertanya: siapa yang memahat bintang-bintang itu?


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline