Seperti batu yang dilemparkan ke dalam kolam yang tenang, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 telah memecah permukaan politik Indonesia yang tampak stabil.
Dalam satu hentakan, ketenangan yang selama ini dijaga dengan hati-hati terguncang. Gelombang-gelombang kecil yang awalnya terlihat sepele kini merambat, menjelma menjadi arus deras yang berpotensi menggulung fondasi kekuasaan yang telah lama mapan.
Keputusan yang mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora terkait ambang batas pencalonan kepala daerah ini, ibarat seperti tamu yang tiba-tiba datang ke rumah tanpa undangan, menggedor pintu sambil membawa koper besar.
Semua yang di dalam rumah politik ini awalnya tenang-tenang saja, sampai harus buru-buru membereskan ruang tamu dan berpura-pura siap menyambut.
Tapi, tamu ini datang bukan untuk sekadar numpang ngopi---dia datang untuk tinggal dan mengatur ulang perabotan, membuat semua penghuni kebingungan di mana letak sofa dan meja makan yang baru.
Dalam terangnya cahaya kekuasaan, di mana intrik dan strategi sering kali menjadi payung yang berharga, proses deterritorialisasi yang dipicu oleh putusan ini seperti akar liar yang merambat di bawah permukaan, menghancurkan dan sekaligus menumbuhkan.
Istilah deterritorialisasi ini dapat dilacak melalui pemikiran Gilles Deleuze dan Flix Guattari, terutama dalam karya mereka A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia (1980).
Dalam buku ini, pada bab ketiga, "10,000 B.C.: The Geology of Morals," mereka menggambarkan deterritorialisasi sebagai proses di mana struktur atau sistem yang stabil mulai kehilangan batas-batasnya dan menjadi cair, menyebar ke berbagai arah tanpa kendali pusat (Deleuze & Guattari, 1980, hlm. 40-50).
Kekuasaan, dalam pandangan mereka, bergerak dalam pola rhizome---bukan lagi hierarkis dan terpusat, tetapi menyebar, tak terduga, dan tak bisa dikendalikan oleh satu tangan yang berkuasa.
Untuk memahami ini dalam konteks politik Indonesia, kita bisa melihat bagaimana keputusan MK berhasil merobohkan struktur hierarkis kekuasaan yang ada, dengan dampaknya yang menyebar ke berbagai elemen sistem politik, termasuk partai politik, KPU, dan Bawaslu. Ini bukan sekadar gangguan sementara, tetapi potensi pergeseran radikal dalam cara kekuasaan beroperasi dan dipertahankan.
Stabilitas pemilu, yang selama ini menjadi benteng terakhir dari ilusi kontrol, kini berada di ambang keruntuhan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) berdiri di persimpangan jalan, dipaksa untuk bertindak cepat dalam situasi yang terus berubah.