Beberapa waktu lalu, aku main ke rumah salah satu sahabatku di Lampung.
Berhubung memang sedang libur sekolah, jadi hari-hari kuhabiskan pula bersama dengan keponakannya yang baru saja menduduki usia 6 tahun. Ya, minggu depan, anak ini akan bersiap menyandang status baru sebagai pelajar Sekolah Dasar (SD) setelah sebelumnya berhasil menyelesaikan pendidikan TK nya. Kita sebut saja namanya Mawar.
Sedang asik ngobrol dengan mamanya, ada sebuah suara khas anak perempuan, cempreng, melengking, tegas dan lugas. "Jangan temenin Mawar tau! Dia Kristen!"
Aku terdiam, bulu tanganku merinding. Aku mengolah kembali kalimat tersebut dengan perasaan kaget dan ngga percaya. Mamanya? Beliau tampak lebih tenang dan hanya senyum doang.
Jujur, aku belum punya anak dan belum memiliki bayangan akan bagaimana mendidiknya kelak bila dikaruniai anak. Hanya saja, aku rasa, kalimat seperti ini tidak elok dan tidak sepantasnya keluar dari mulut seorang anak.
Spontan aku berucap "Ini mah keluarganya yang ajarin ngga sih, Mba? Anak kecil mana ngerti bilang beginian."
Tenang, yang kaget aku doang. Beruntungnya, Mawar punya Mama seorang guru Bimbingan Konseling, Beliau punya cara sendiri untuk mengolah kejadian-kejadian itu menjadi pelajaran untuk anaknya tanpa membuat anaknya kehilangan kepercayaan diri.
Semestinya anak tempatnya cinta tanpa memandang perbedaan
Aku teringat dengan sebuah video dari luar sana. Anak kulit putih berlari ke arah seorang anak kulit hitam. Dari sisi berlawanan, anak kulit hitam tersebut berlari ke arah yang sama dengan anak kulit putih. Hingga di satu titik, akhirnya mereka bertemu, berpelukan sembari tertawa. Sedangkan orangtuanya hanya memandang, turut tertawa lalu saling memberi salam.
Di video berbeda, sebuah eksperimen menunjukkan bahwa, alih-alih memakan, beberapa anak kecil lebih memilih memberikan ice cream yang baru saja dibelikan ayahnya - tanpa dipaksa - untuk seorang tunawisma tak jauh dari lokasi ice cream tersebut dijual.