Lihat ke Halaman Asli

Efa Butar butar

TERVERIFIKASI

Content Writer

Menolak Lupa Sakitnya Kecopetan

Diperbarui: 11 Desember 2018   20:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: phinemo.com

Tentang kehilangan, bisa dikatakan hampir setiap orang pernah merasakannya. Mulai dari pena yang kehilangannya kerap misterius baik dulu di kelas pun sekarang di kantor, sendok dan garpu di dapur, kunciran rambut bagi kaum hawa, perangkat elektronik sampai yang terakhir yang paling fatal, dompet!

Kalau perangkat elektronik yang hilang, meski sangat sangat tak ikhlas, kita masih bisa mengupayakan pencarian dengan terlebih dahulu menghubungi nomor kita. Jika suara perangkat berdering tentu akan lebih mudah mencari sumber suara. Namun jika tidak, dapat pula diupayakan dengan melacak  posisi terkini perangkat dengan memanfaatkan fitur GPS di dalamnya.

Lalu bagaimana jika yang hilang adalah sesuatu yang tak dapat mengeluarkan bunyi. Bisa dikatakan, seluruh hasil keringat bertahun-tahun terbungkus menyatu di sana. Termasuk identitas diri yang wajib ditunjukkan dalam setiap urusan formal. Alias dompet! Bagaimana jika benda ini yang hilang?

Sakitnya kehilangan yang bertubi-tubi

Tahun 2016 yang lalu, salah seorang sahabat saya bersiap menghadapi HRD sebuah perusahaan yang diinginkannya. Dengan persiapan yang matang, menghindari terlambat, tepat pukul 06.00 WIB dia melangkah dengan sangat percaya diri menuju stasiun Bekasi sebagai stasiun yang terdekat dari lokasi kost menuju alamat yang telah tercantum rapi di dalam email undangan interview.

Data diri dan pengalaman kerja diselipkan dalam sebuah map kertas berwarna biru. Di sana terselip pula fotocopy identitas dan selembar pas foto terbaru sebagaimana permintaan HRD. Hari itu, harapan kami hanya satu, semoga di hari yang sama ada kabar bahagia yang akan menyudahi pengangguran yang hampir berjalan 3 bulan itu.

Naas tak dapat dihindari. Berselang kurang lebih 30 menit, suara nyaring terdengar dari luar pagar. Panik, dan sedikit memaksa.

Saya yang saat itu sedang persiapan ke kantor menghentikan kegiatan dan membukakan pagar. Sahabat saya di sana dengan wajah yang jelas sedang tegang namun masih berupaya melempar senyum. "Kayaknya dompet gue ketinggalan, deh" Ujarnya kala itu dengan senyuman yang begitu dipaksa.

Saya tahu persis bahwa dompet adalah sesuatu yang tak akan pernah dia tinggalkan tiap kali bepergian. Bisa dikatakan, benda tersebut adalah hal yang paling pertama dipastikan ada di dalam tasnya untuk kemudian berani melangkahkan kaki keluar. Di saat yang sama, firasat saya mulai tidak enak.

Satu per satu lemari mulai dibuka. Tiap-tiap laci dibongkar. Tempat tidur yang semula sudah rapi diacak-acak demi memastikan ada tidaknya benda itu di sana.

Sama saja. Hasilnya nihil! Kami sama-sama tahu bahwa dompet tersebut tak akan pernah ada di sana karena memang tempatnya hanya ada satu. Tas. Dan itu tak pernah berpindah. Tak pernah sekalipun selama kurang lebih 1 tahun kami tinggal bersama. Kami juga sama-sama tahu bahwa pencarian tersebut lebih seperti alibi karena ketakutnya dalam menghadapi kenyataan lalu mengucapkan bahwa dirinya sedang kehilangan satu-satunya hartanya yang tersisa di perantauan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline