Lihat ke Halaman Asli

Efa Butar butar

TERVERIFIKASI

Content Writer

Salam Tempel di Bulan Ramadan, Jangan Salahkan Anak

Diperbarui: 11 Juni 2018   23:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salam tempel untuk anak di hari raya Idul Fitri | Foto: Antarafoto

Dibandingkan dengan beberapa bentuk kebahagiaan yang tak dapat dihitung yang kita terima dari hadirnya ramadan, ternyata ada beberapa kebahagiaan terukur yang dapat kita lihat selama di bulan ramadan.

Tradisi kebahagiaan ini lebih tampak di raut wajah anak. Biasanya, usai menerima kebahagiaan tersebut, anak kerap meloncat senang lalu berlari meninggalkan rumah agar kebahagiaannya tak "direnggut" oleh orang tuanya -- baca mama.

Betul! Apalagi kalau bukan salam tempel? Kalau di saudara-saudara kita Tionghoa disebutnya angpao.

Sejumlah uang dimasukkan ke dalam amplop, kemudian satu per satu lembaran amplop diserahkan pada anak tepat di hari raya. Nominalnya beragam. Tergantung banyaknya rejeki dan kebaikan hati pemberi amplop kepada setiap anak yang ada di lingkungan keluarga.

Biasanya target amplop adalah anak-anak, mereka yang belum menikah dan belum memiliki pekerjaan tetap untuk dinikmati setiap harinya. Setelah anak beranjak dewasa dan memiliki pekerjaan sendiri, meskipun belum menikah, biasanya mereka telah ikut menjadi bagian dari pemberi salam tempel pada anak ini.

Salam Tempel, Tradisi Sekali Setahun yang Tak Diminta Oleh Anak

Banyak yang memberikan opini pro dan kontra perihal salam tempel ini. Salah satu opini kontra tentang pembagian salam tempel adalah kekhawatiran mereka bahwa anak menjadi candu dan kebiasan untuk meminta sehingga tak ingin melakukan apapun karena mereka meyakini, ada saat di mana mereka akan mendapatkan uang dengan jumlah tertentu di waktu tertentu pula -- dalam kasus ini adalah hari raya Idul Fitri.

Pendapat yang cukup keliru menurut saya. Bagaimanapun, salam tempel 'hadir' tanpa ada sangkut pautnya dengan anak karena beberapa hal di bawah ini:

  • Salam tempel disiapkan dan diberikan oleh orang dewasa yang telah mapan kepada anak-anak sebagai bentuk hiburan kepada anak tanpa diminta oleh si anak tersebut
  • Jika orang dewasa memiliki rejeki yang disebut dengan THR, masa sih anak ngga berhak untuk mendapatkan salam tempel?
  • Hadirnya salam tempel memicu semangat seorang anak yang beranjak dewasa untuk bekerja agar kelak dapat melakukan hal yang sama pada anak-anak yang ada di keluarganya. Jadi secara tidak langsung, salam tempel ini muncul ya karena orang dewasa, bukan atas permintaan anak agar mereke kecipratan rejeki
  • Tentang salam tempel, anak bukanlah satu-satunya orang yang berharap akan hal tersebut. Ada pihak-pihak lain yang diuntungkan dan mungkin lebih mengarapkan salam tempel pada anak dibanding anak itu sendiri. Ibu! Menteri ekonomi keluarga yang terus memantau tajam pergerakan anak selama di acara silaturahmi di keluarga. Setelah ada celah dan kesempatan, dengan alasan yang sama "biar ngga hilang" biasanya kaum Ibu akan meminta amplop tersebut untuk disimpan dan tak akan pernah kembali
  • Hanya terjadi satu kali dalam satu tahun. Jadi tidak mungkin menjadi mengakar dan kebiasaan hingga berumur mengharapkan itu semata.

Tentang salam tempel ini, bagi sebagian orang tak lebih dari hiburan untuk anak. Namun jika kekhawatiran tentang anak jadi terbiasa meminta dan tak ingin berusaha sendiri, bukankah sebaiknya menyediakan berbagai benda lain untuk diberikan pada anak? Makanan misalnya, atau pakaian? Mungkin juga mainan?

Atau barangkali benda-benda di atas terlalu mahal?

Jika terlalu mahal untuk dibagi-bagi, dan banyak orang yang kontra akan pembagian salam tempel pada anak, maka sebaiknya pilih untuk tidak memberikan apapun pada siapapun sehingga tidak ada satu orangpun yang meributkannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline