Lihat ke Halaman Asli

Efa Butar butar

TERVERIFIKASI

Content Writer

Perlunya Kontrol Orang Tua dalam Aktivitas "Sahur on The Road" agar Tak Membahayakan Anak

Diperbarui: 4 Juni 2018   23:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sahur on the road yang semestinya | Foto: stephanlangitan

Keseruan tradisi sahur on the road ini sebenarnya turut menjadi salah satu hal yang dinanti-nanti di bulan Ramadan tentu saja selain dari keseruan buka puasa bersama dan ngabuburit bersama dengan orang-orang tersayang. Bedanya, jika yang lain dapat dilakukan beramai-ramai termasuk wanita, biasanya sahur on the road lebih didominasi oleh kaum adam yang notabene 'doyan' kelayapan.

Hingga tahun 2011an, sahur on the road masih menjadi aktivitas saling berbagi oleh masyarakat yang mampu kepada mereka yang menyatakan diri sebagai masyarakat "kurang" yang butuh perhatian lebih agar kebutuhannya -- setidaknya urusan makan -- dapat tercukupi melalui tangan-tangan yang mau memberi. Dapat dikatakan sebagai bentuk kepedulian sosial.

Perlahan, tradisi sahur on the road yang semula fokus pada ajang sosial, kini bergeser hanya pada kegiatan nongkrong-nongkrong tak bertujuan. Bahkan belum lama ini, tepatnya 3 Juni 2018 dini hari, sekelompok anak remaja dibubarkan oleh pihak Kapolres Jakarta Selatan karena terlibat aksi tawuran di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Tawuran yang melibatkan dua kubu remaja ini bahkan didapati membawa senjata tajam yang apabila si anak tidak terkontrol akan sangat memungkinkan untuk membahayakan orang lain yang ada di sekitarnya atau remaja lain dari kubu seberang.

Sepertinya bukan rahasia lagi kalau anak-anak remaja suka nongkrong tidak jelas hingga subuh. Pemandangan serupa juga kerap ditunjukan oleh tayangan salah satu stasiun televisi swasta. Sebagian diantara mereka sibuk mempersiapkan diri dengan senjata tajam, sebagian lagi mempersiapkan diri dengan minuman-minuman keras untuk dicicipi demi sebuah sebutan 'gaul'.

Pemandangan ini sekaligus menjadi cambuk bahwa makna dari sahur on the road tersebut mulai bergeser dari tujuan awal dan beralih menjadi sekedar seru-seruan.

Jika bisa disebut pro kontra kehadiran aktivitas sahur on the road "jaman now", mungkin masyarakat akan banyak yang sepakat untuk menolak kegiatan tersebut. Nihil kebaikan, minim pelajaran. Jikapun anak memaksa untuk mengikuti kegiatan tersebut, kemungkinan alasan lebih ke penerimaan teman-temannya akan kehadirannya.

Masa-masa yang rentan untuk menyambut baik perkelahian, ego tinggi, tidak berpikir jauh, emosi yang mudah terpancing, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga lebih mudah untuk dipengaruhi tanpa mencari tahu terlebih dahulu.

Banyak sekali seharusnya rententan kekhawatiran orang tua saat anak meminta untuk bergabung bersama dengan temen-temannya melakukan aktivitas sahur on the road. Namun, menolak mentah-mentah sang anak untuk sebuah permintaan juga bukan menjadi solusi yang membuat anak langsung patuh dan menolak untuk tidak bergabung pada acara tersebut.

Tak jarang sebuah penolakan berujung pada 'kreativitas' perlawanan. Anak akan mencari cara bagaimana caranya dapat membangkang ucapan orang tua dan bergabung dengan teman-temannya. Oleh sebab itu, dibutuhkan campur tangan orang tua agar membuat anak tetap patuh tanpa merasa ditolak dan tak dihargai permintaannya.

Idealnya Sahur On The Road

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline