Perkembangan teknologi mau tak mau membuat seluruh lapisan masyarakat semakin mudah dalam berkarya. Beragam karya muncul tanpa menunggu lama, arrangement lagu, lukisan, hingga karya dalam bentuk tulisan.
Belakangan, penulis semakin menjamur. Mencoba peruntungan meraup pundi-pundi rupiah dari setiap Bahasa yang dirangkai. Beberapa diantaranya tulus berbagi ilmu dan kebaikan, namun tak sedikit pula yang menyalah gunakan teknologi dengan berkarya melalui tulisan lalu imenyebarkan sebuah informasi yang tak dapat dipertanggungjawabkan. Entah ini bisa disebut karya atau tidak.
Berita yang tak dapat dipertanggungjawabkan, atau istilah kerennya hoax beredar tanpa bisa dikontrol untuk dihentikan. Tanpa bisa dicegah untuk tak lagi dibagikan. Tanpa bisa diketahui siapa sumber pertama yang membagikan hingga sulit untuk menghentikan.
Ada ratusan bahkan ribuan lapisan masyarakat yang turut menamai dirinya blogger, di Kompasiana sendiri, hingga Oktober 2017 tercatat sebanyak kurang lebih 300.000an blogger yang tergabung dan menamai dirinya Kompasianer (Widha Karina)
Sayangnya, dari sekian banyak blogger dan Kompasianer, hanya segelitir orang yang bisa memberikan penjelasan dan artikel terpercaya perihal kesehatan dan nutrisi. Tak banyak, bisa dihitung jari. Jumlah yang terbatas ini semakin rapuh dan tertutupi dengan banyaknya jumlah blogger di luar sana yang menyebarkan berita perihal kesehatan yang kebenerannya masih dipertanyakan atau hoax.
Mulai dari anggapan minum air yang baik adalah sekaligus 8 gelas di pagi hari saat baru bangun tidur, beras yang baik untuk dikonsumsi adalah beras yang dicuci hingga tak lagi menyisakan warna putih, dan berita-berita lainnya yang ternyata menurut mereka yang ekspert di bidangnya adalah salah.
Adalah tantangan tersendiri untuk membasmi hoax dari ibu pertiwi. Namun sebenarnya tak hanya di sini, bahkan negara majupun rentan terkena hoax. Menurut Septiaji Eko Nugroho, Chairman & Founder Indonesian Anti Hoax Community, hoax tidak dapat dilawan dengan opini, hoax hanya bisa dikalahkan dengan fakta, itu sebabnya dbutuhkan mereka-mereka yang memiliki kategori expert di bidang tertentu untuk turut memerangi hoax.
Danone dan Kompasiana memandang fenomena ini menjadi sesuatu yang tidak dapat disepelekan karena hoax bukan sekedar berujung pada buruknya nama baik seseorang, namun lebih krusial lagi, hoax bisa berujung pada kematian jika tidak segera diluruskan.
Dan lalu sejak 29 September hingga 22 Oktober, Danone menggandeng Kompasiana mengadakan seleksi tentang artikel kesehatan yang nantinya akan dinobatkan sebagai Blogger kesehatan. Blogger-blogger terpilih diharapkan dapat menjadi wadah bagi pembaca di luaran sana untuk mendapatkan informasi terpercaya seputar kesehatan dan nutrisi.
Awalnya saya pikir ini akan menjadi satu seleksi yang rumit untuk dilewati, rupanya, beberapa tulisan terkait dengan kesehatan yang saya tayangkan di laman Kompasiana, mengantarkan saya menjadi salah satu peserta beruntung untuk menjadi satu dari 20 peserta Danone Blogger Academy 2017.
Dari 131 orang yang mendaftarkan diri melalui karyanya, terpilihlah 20 orang blogger dan Kompasianer yang akan berperang melawan hoax dengan terlebih dahulu mendapatkan beragam materi dari narasumber yang terpercaya. Tak cukup sampai di sana, seluruh peserta terpilih juga akan dibekali bagaimana caranya mendapatkan atau memilih foto terbaik untuk menggambarkan isi tulisan.