Lihat ke Halaman Asli

Efa Butar butar

TERVERIFIKASI

Content Writer

Panen, Petani Padi Panombeian Toba Menangis

Diperbarui: 19 Oktober 2017   00:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi ((KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO))

Setelah melewati berbagai proses selama kurang lebih 4 bulan sejak penyemaian, masyarakat Desa Panombeian Toba dan sekitarnya siap untuk memanen hasil jerih payahnya.

Panombeian Toba adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Panombeian Pane, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara yang keberadaannya tak banyak diketahui orang, termasuk warga Sumatera Utara sendiri.

Sudah hal yang biasa ketika memperkenalkan diri saat SMP dan SMA di kota dulu, tidak ada yang tahu di mana letak desa yang saya perkenalkan. Di awal sekolah, saat teman-teman bertanya, dengan senang hati saya akan memperkenalkan tempat ini sampai mereka memiliki bayangan kira-kira di mana letak desa yang tengah saya bicarakan. Walaupun pada akhirnya penjelasan saya percuma. Lambat laun, tiap kali ada yang bertanya, saya selalu menjawab, 'ntar kubawa ke sana, biar tau'.

Kembali ke panen desa, meski tak melihat langsung ke lapangan, setidaknya saya tahu bahwa mamak saya tidak akan pernah mengatakan hal yang tidak benar.

Panen yang berlangsung kali ini sedikit menyakitkan. Tikus menjadi musuh utama yang menguasai hampir setengah hasil panen. Kali ini, bahkan untuk menutup utang pun tidaklah cukup. 

Siklus hidup petani padi di desa ini cukup unik. Pupuk, obat dan segala keperluan petani di awal penanaman akan dibeli dengan cara utang kepada seorang tauke. Penanamannya sendiri dilakukan dengan cara gotong royong. Istilah yang digunakan di sana adalah marsidapari.

Sekitar 7-9 orang ibu-ibu akan membentuk kelompok kecil. Secara bergiliran, kelompok kecil ini akan saling menanam padi di sawah milik masing-masing anggota kelompok hingga selesai. Jika dirasa kurang, maka pemilik sawah akan mencari orang tambahan yang akan dibayar untuk membantu mempercepat proses penanaman.

Untuk melunasi utang pupuk dan obat-obatan untuk padi itu, satu-satunya yang diharapkan adalah hasil panen. Sebagian hasil panen akan dijual untuk melunasi utangnya terlebih dahulu, sebagian lagi kembali dijual untuk mendapatkan uang yang akan digunakan untuk kehidupan sehari-hari dan sisanya akan digunakan untuk konsumsi pangan hingga panen berikutnya tiba.

Tak tanggu-tanggung, dalam pemenuhan kebutuhan pupuk dan obat untuk total 12 rantai, Mamak membutuhkan kurang lebih Rp 1,5 jt. Bagi warga yang memiliki anak yang sudah bekerja, mungkin angka ini tidaklah terlalu berat karena bisa dipastikan anak akan membantu semua kebutuhan tersebut. Namun, bagi petani yang anaknya masih sekolah, bukankah nilai ini cukup mahal? 

4 bulan sebelum musim panen tiba, tidak ada pemasukan, sementara anak harus terus sekolah, kebutuhan sehari-hari juga harus terus terpenuhi. Mau tidak mau, untuk memenuhinya, petani harus kembali mengajukan pinjaman.

Dan kali ini, panen itu telah tiba. Meski namanya panen, tak sedikit petani yang bermuram durja. Pasalnya, satu-satunya sumber penghasilan yang diharapkan dapat melunasi utang, tidak sesuai yang diharapkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline