[caption caption=""Fit Couple" (sumber : jodiru.comuf.com)"][/caption]Semoga tidak terlambat untuk ikut bicara soal ‘LGBT’. Term yang marak digunakan mulai tahun 2015 ini menggeser term “homo”, “AC-DC”, “waria”, “bencong”, dan term lain yang sudah punya nilai secara sosial. Tentu saja nilai yang dimaksud dari term-term tersebut adalah nilai yang negatif. Term itu digunakan untuk ‘menghina’ dan mengafirmasi sesuatu yang teramat buruk. Kini, ‘LGBT’ dipopulerkan untuk mencoba menggeser nilai negatif yang sudah menjadi stigma di kalangan masyarakat umum ke arah yang lebih netral.
Lesbian, Gay, Biseks, dan Transgender adalah masalah yang terjadi sejak lama sekali. Seperti halnya terorisme, prostitusi, pembunuhan, pencurian, atau perbuatan jahat lainnya, LGBT seakan-akan merupakan hal absolut yang harus ada di dalam kehidupan dalam rangka menjaga keimbangan dan kesetimbangan semesta. Namun perkembangan diskursus di media-media, baik massa dan sosial, akhir-akhir ini memaksa untuk meluangkan lebih banyak perhatian. Ada yang tidak biasa dalam tarik menarik antara pro dan kontra mengenai hal ini.
Mereka yang mendukung LGBT mengemukakan argumen hak asasi manusia. Baginya orientasi seksual merupakan hak asasi yang boleh mereka pilih sesuai dengan kehendaknya masing-masing. Mereka mengemukakan argumen bahwa perilaku LGBT merupakan ranah privat yang tidak perlu dicampuri oleh siapapun karena orientasi seksual tidak merugikan siapapun. Tentu yang dimaksud dengan “tidak merugikan siapapun” di sini jika dilakukan atas dasar suka sama suka atau tanpa paksaan apalagi perkosaan. Selain sebagai pilihan, ada juga yang mengungkapkan argumen bahwa menjadi LGBT diakibatkan oleh faktor natural atau bawaan lahir. Semisal, merasa terkurung di jasmani yang salah atau kecenderungan kejiwaan tersebut muncul sedari masih kecil yang bahkan sejak sebelum mengenal seks. Seperti pengakuan kawan saya, dia mengakui bahwa dia selalu bermimpi melakukan persenggamaan dengan lelaki, bahkan sejak mimpi basah pertamanya.
Di seberangnya, mereka yang menolak LGBT berangkat dari argumen keagamaan, bahwa agama melaknat hubungan sesama jenis kelamin, mengubah takdir jenis kelamin, dan lain sebagainya. Interpretasi psikolog mungkin juga memiliki pendapat berbeda, yang menentang menganggap bahwa LGBT merupakan patologi kejiwaan yang (mungkin) bisa disembuhkan. Mereka yang tertarik untuk melihat dari sudut pandang formal menyatakan bahwa negara tidak menerima jenis kelamin “ketiga”, dan masih banyak argumen lainnya.
Setiap orang berhak mengemukakan pendapatnya. Itu adalah hak konstitusional yang harus kita hormati. Wacana LGBT terus bergulir membesar seperti bola salju belakangan ini. Entah siapa yang memulainya kembali. Entah dari mereka yang mendukung atau dari mereka yang menentang, yang pasti LGBT itu ada dan terus diperbincangkan. Di tengah pusaran perdebatan mengenai LGBT, muncul desas-desus bahwa LGBT merupakan salah satu agenda perubahan sosial yang dikampanyekan oleh kelompok pendukungnya.
Jika itu benar, apa sebetulnya yang ingin mereka kampanyekan? Menerima eksistensi LGBT bukan sebagai kelompok masyarakat yang berbeda secara sosial? Atau menerima LGBT sebagai bagian dari pilihan yang bisa diambil sebagai bagian dari asasi manusia? Atau mungkin mengajak orang lain untuk juga menjadi LGBT? Ini hal yang harus kita cermati bersama.
Saya berasumsi bahwa perdebatan yang semakin menghangat ini memang berangkat dari upaya terencana dari mereka yang terlibat LGBT atau sekedar mendukung LGBT dengan dalih apapun. Mereka merasa harus angkat bicara karena selama ini mereka terus menerima represi atas sesuatu yang mereka yakini bukan merupakan kesalahan.
Apa yang terjadi akhir-akhir ini merupakan fase mendekati puncak keberhasilan propaganda mereka. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu LGBT hanya mengisi ruang-ruang “gelap-sempit” dan terpinggirkan dari masyarakat. Mereka menunjukan eksistensinya hanya pada malam hari di tempat tertentu. Mereka masih berlari berkejaran dengan masyarakat umum atau aparat pemerintah yang bertugas untuk menertibkan mereka, mereka direpresi sedemikian rupa baik oleh kekuasaan negara maupun oleh pranata sosial.
Namun sepuluh tahun terakhir ini, mereka menginfiltrasi publik dengan cara yang lebih halus dan “lamban” namun efektif. Mereka tahu bahwa persepsi masyarakat terhadap mereka tidak bisa diubah secara cepat. Oleh karena itu, mereka memilih metode propaganda yang paling halus. Tujuannya akhirnya adalah untuk mengubah persepsi masyarakat dari menolak menjadi mendukung. Sedangkan tujuan sementaranya adalah untuk membentuk opini masyarakat yang lebih permisif akan kehadiran mereka, masyarakat tidak harus mendukung dengan terang-terangan tetapi cukup dengan membiarkan LGBT eksis di tengah masyarakat secara terbuka.
Metode paling mencolok yang mereka lakukan dan berhasil membuat kita permisif adalah dengan menampilkan LGBT sebagai hiburan, guyonan, dan (seakan-akan) fiksional yang ditayangkan secara terbuka di media massa Misalnya dengan berperan sebagai banci di dalam pertunjukan komedi, sebutlah Tessi atau Aming sebagai salah satu yang terkenal. Atau program televisi bincang-bincang inspirasi yang dibawakan oleh seorang pembawa acara transgender yang multi talenta seperti Dorce. Atau membuat film tentang kehidupan homoseksual dan transgender seperti film fiksi “Arisan”, “Lovely Man”, “Selamat pagi, Malam.”, dan lainnya. Selanjutnya kita juga terus disuguhi oleh figur-figur kemayu yang terkadang menggunakan busana wanita, baik keseluruhan maupun sebagian (misalnya lelaki menggunakan wedges atau tas tangan wanita), yang juga tidak jarang menampilkan adegan humor sensual dengan atau kepada sesama lelaki.
Hasilnya, kini kita tidak lagi berdebat mengenai apakah LGBT itu dapat diterima oleh masyarakat atau tidak. Karena masyarakat - sadar atau tidak – telah menerima LGBT sebagai bagian dari masyarakat. Bentuk penerimaan kita di antaranya adalah dengan tidak lagi jengah pada LGBT, lebih mau toleran dan permisif atas kehadiran mereka di antara masyarakat.