Lihat ke Halaman Asli

Muthos

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seekor kupu-kupu, hitam dan bercorak kembang kuning di kedua sayapnya, terbang kesana-kemari di dalam rumah. Manusia lantas berkeyakinan, hari ini, ia akan kedatangan tamu.
* * *
Frankfurt, Jerman di tahun 1923. Sebuah ‘sekolah’ lahir. Tapi, lebih pada bukan ‘sekolah’ secara fisik. Melainkan suatu paradigma serta riset sosial-budaya. Frankfurt Schule namanya. Belakangan lebih terkenal dengan sebutan Mazhab Frankfurt.

Pendirinya, kebanyakan kaum intelektual Yahudi Jerman sayap kiri kelas menengah-atas. Mazhab Frankfurt lahir dari kekhawatiran akan fenomena sosial-budaya yang tengah berkembang saat itu. Ada yang salah dengan konsep pencerahan yang dijanjikan gerak bernama modernisme. Ada yang mesti diperiksa ulang dengan perluasan kebebasan manusia serta kecenderungan ilmu pengetahuan berazas rasionalitas buta. Kemajuan (modernisasi) justru seperti hanyut ke dalam mimpi buruk.

31 tahun kemudian, di tahun 1954, keresahan itu hijrah ke Prancis. Mengusik imajinasi seorang pemikir poststrukturalis, Roland Barthes. Hingga menorehkannya dalam rangkaian tulisan di majalah Les Letters Nouvelles. Ia merefleksikan beberapa kecenderungan modernisasi kehidupan sehari-hari orang Prancis. Budaya menonton gulat, anggur dan susu, hingga striptease pun sakasama ia amati.
Sampai akhirnya Barthes berkesimpulan; “orang moderen pun dikerumuni oleh banyak mitos, orang moderen juga produsen dan konsumen mitos.”

Muthos kata orang Yunani dulu, semacam bentuk ‘kefrustasian’ akal manusia dalam usahanya menjelaskan dengan gamblang fenomena-fenomena alam. Entah itu hujan, badai, kekeringan, ataukah berupa malapetaka.

Bangsa Skandinavia pun berhalusinasi, sesosok Thor pemilik godam sakti, yang sanggup menggetarkan langit menghasilkan petir. Hingga titik-titik hujan lalu jatuh ke bumi.

Kita juga dulu bermimpi tentang Dewi Sri. Yang memberi berkat pada kesuburan padi Pak Tani. Sama seperti orang Yunani sendiri yang mengenal Zeus dan Apollo. Dionysos dan Hera. Ataukah Pandora dengan kotak malapetaka-nya, yang ditugaskan turun ke bumi untuk balas dendam kepada Prometheus.

Muthos atau mitos punya tiga ciri.
Irasional. Dalam arti, mitos tidak berada dalam kontrol kesadaran manusia. Karenanya, ia sering dilawankan dengan kata logos (akal/rasio).
Intuitif. Ia tidak melalui rangkai uraian filosofis yang tersistem.
Ambiguous. Sesuatu yang tidak memiliki kejelasan benar-tidaknya.

Kupu-kupu, hitam dan bercorak kembang kuning di kedua sayapnya, yang terbang kesana-kemari di dalam rumah, apakah hari ini kita akan kedatangan tamu?

Tak ada uraian sistematis, logis, dan rasional yang mampu menjabarkan secara gamblang, apa dan bagaiamana hubungan antara ‘kupu-kupu’ dan ‘datangnya tamu’.

Lalu datanglah ke bumi, ilmu pengetahuan dan kecerdasan teknologi. Lamat-lamat mitos tergeser dalam kesadaran masyarakat. Keberadaannya mulai terkucilkan. Dengan mikroskop dan matematika, manusia kemudian mampu mejelaskan lebih akurat bahwa; hujan adalah penguapan air yang ada di permukan bumi (sungai, danau, lautan, dan samudera) akibat panas matahari. Lalu, uap naik terbawa angin membentuk gumpalan awan. Berkondensasi menjadi embun (air). Hingga muatan positif dan muatan negatif pada gumpalan awan saling bertemu mengalami pemampatan. Langit pun bergemuruh, cahaya silau menyambar. Dan petir menggelegar.

Sains seumpama penghapus Thor dan palu godamnya. Sri, Chac, Baal, Bathara Indra, Ul Wed Lahalata ataukah dewa-dewa lain yang sering dikaitkan dengan hujan dan petir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline