Lihat ke Halaman Asli

Edy Suryadi

Ketua Umum Rumah Kebangsaan Pancasila

Siapa Khilafah ala Minhajin Nubuwwah Itu? (#1 Pendahuluan)

Diperbarui: 30 Mei 2022   18:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kajian kita kali ini adalah tentang khilafah. Dimana kajian kita ini bersentral kepada sebuah hadits tentang Lima Fase Zaman riwayat Ahmad yang banyak menjadi rujukan para pengusung khilafah. Berikut isi dari pada hadits tersebut:

"Adalah masa Kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah 'ala minhajin Nubuwwah (Pemerintahan yang mengikuti jejak kenabian) adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Mulkan 'Adlon (Kerajaan yang menggigit), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Mulkan Jabbariyah (Kerajaan yang zalim), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah 'ala minhajin nubuwwah (Pemerintahan yang mengikuti jejak kenabian). Kemudian beliau diam." (HR. Ahmad)

Nah jika benar akan datang satu era dimana khilafah ala minhajin nubuwwah akan hadir di tengah-tengah kita sebagaimana dikabarkan oleh hadits di atas, pertanyaan pentingnya adalah: siapakah yang dimaksud dan dengan ukuran apa kita mesti mengukur kebenarannya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita memang hanya memiliki dua alat ukur. Yaitu Al-Qur'an dan As Sunnah. Namun begitu terkait As-Sunnah ini tentu tidak boleh disempitkan menjadi hanya sebatas teks yang tertera pada buku-buku hadits saja. Tapi harus bersifat luas meliputi totalitas jejak atau sejarah dari pada perjalanan hidup Rasulullah itu sendiri.

Kajian terhadap hadits 5 fase zaman tersebut memang menjadi hal yang sangat menarik. Menariknya karena ini membuat kita mau tidak mau harus mengkaji totalitas zaman. Mengkaji keseluruhan zaman dari zaman kenabian; yang berarti dari zaman Nabi Adam sampai dengan zaman Nabi Muhammad, dan terus sampai ke zaman kita hari ini.

Dan sebenarnya, memang untuk memahami Islam secara benar dan utuh itu, kita tidak bisa hanya mengkajinya dari sepotong zaman saja. Karena kita tahu bahwa Islam itu sendiri bukan agama yang ada baru kemarin. Islam adalah agama yang sudah ada bahkan sejak peradaban pertama umat manusia. Sejak zaman Nabi Adam. Hal ini turut diperkuat dengan keterangan hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang menjelaskan:

"Para nabi bagaikan saudara seayah, agama mereka satu yaitu agama Islam, dan ibu-ibu (syari'at-syari'at) mereka berbeda-beda"

Begitu juga halnya kalau kita bermaksud mengkaji tentang khilafah yang oleh beberapa kelompok dipandang sebagai representatif dari pada tegaknya Islam ini. Tentu kita tidak bisa mengkajinya hanya dari zaman dinasti-dinasti Islam seperti zamannya bani Ummayah, Abasiyah dan Utsmaniyah saja -- sekalipun memang sejarah gilang-gemilangnya Islam dapat dikatakan ada di masa-masa itu. Tapi tentu kita tidak bisa mendasari kebenaran sesuatu hanya dari karena di sanalah gilang gemilangnya Islam itu. Dan kita juga tidak bisa mendasari keputusan tindakan kita sebatas hanya karena dorongan romantisme kejayaan dan kemegahan di masa lalu itu.

Jadi, selain perlunya kita menarik pelajaran-pelajaran penting dari masa dinasti-dinasti Islam, kita juga tentu harus mundur kebelakang untuk mengkaji secara mendasar era Khulafaur Rasyidin yang oleh hadits tersebut di atas justru disebut sebagai Khilafah ala minhajin nubuwah itu.

Dan jika kita cermati baik-baik, kunci untuk memahami hadits tersebut ada terletak pada istilah "Khilafah Ala Minhajin Nubuwah" itu sendiri. Istilah khilafah ala minhajin nubuwah yang bermakna pemerintahan yang mengikuti jejak kenabian, telah menempatkan ukuran kebenaran dari pada khilafah yang dimakasud terletak pada ikut atau tidak ikutnya dengan jejak kenabian. Dengan kata lain, rahasia kebenaran yang kita cari sebenarnya adanya justru di dalam jejak kenabian itu sendiri.

Artinya, yang harus kita temukan justru adalah jejak kenabian mana yang dimaksud. Yang dalam konteks ini tentu terkait dengan sistem pemerintahan atau syariat bernegara. Jadi, syariat bernegara seperti apakah sebenarnya yang pernah Rasulullah contohkan untuk kita. Inilah yang harus kita temukan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline