Andai mencari pekerjaan itu mudah diperoleh, pekerjaan keparat ini sudah lama kutinggalkan.
Pantas. Ya, sekali lagi pantas untuk ditinggalkan. Mencari pekerjaan halal itu memang tidak mudah, terlebih pada zaman edan saat pandemi Covid-19. Menjengkelkan. Sebentar-sebentar famili datang menanyakan, adakah lowongan pekerjaan untuk anaknya.
Mencari pekerjaan yang haram saja, misalnya untuk menjadi pencuri, rasanya sulit didapat karena takut tertangkap aparat. Jadi perampok, yang tak punya kemahiran dan nyali untuk berkelahi.
Serba salah. Sekarang pekerjaan sudah di tangan. Tetapi, perlakuan para atasan sungguh menjengkelkan. Keterlaluan. Sebentar-sebentar mengeluarkan cacian. Mungkin dari celotehnya, jika direkam setiap hari, sudah puluhan binatang di kebun raya Ragunan diucapkan.
Bekerja sebagai bawahan memang tidak enak. Tapi, untuk jadi bos juga bukan hal mudah. Jelan menuju peringkat bos harus merangkak. Kata orang bijak, kudu prihatin dan bermental baja.
Ah, persetan nasihat itu. Ternyata, realitasnya jauh api dari panggang. Menyakitkan. Terasa diri diperlakukan seperti binatang. Selalu saja dipersalahkan. Tak ada kalimat seperti nak harusnya begini. Besok jangan diulang lagi, gunakan logika sehingga tak terjebak pada kesalahan yang sama.
Malah, yang muncul adalah kata-kata kasar seperti bodoh kamu. Lulusan perguruan tinggi ternama pula, tetapi kinerjanya harus dituntun seperti anak baru bisa membaca.
**
Itulah dunia kerja.
Jangan memandang semua serba enak. Bisa jadi seseorang berangkat dari kediamannya mengenakan pakaian mentereng. Mengenakan dasi. Eh, tak tahunya, ketika di kantor, tampil seperti ayam sayur.
Diperintah untuk membikin konsep surat, tak becus. Diperintah untuk mengoperasikan komputer dan memanfaatkan aplikasi tersedia, juga tak mampu.