Sudah tiga batang rokok keretek dihisap. Tetapi pemuda paruh baya itu masih bersemangat untuk kembali menghisapnya. Sepertinya ia tengah ketagihan. Pada batang rokok keretek yang kelima, barulah ia memindahkan letak pantatnya. Hanya beberapa jengkal.
Dari atas tangga jembatan penyeberangan orang di ruas jalan Harmoni -- Kota, menyebar bau asap rokok kemenyan.
Kupandangi. Ia mengambil sikap masa bodoh. Ia terus saja menyedot rokoknya. Kuperhatikan, sudah enam batang rokok disulut lalu cepat-cepat dihisap. Asap yang mengepul dari mulutnya ditiup ke segala arah. Dan, tentu saja mengarah kepadaku. Barulah pada batang yang keenam ia menghentikan kegiatan menghisap rokok yang kemudian disambut suara pekik unjuk rasa beringas di kawasan Harmoni.
Hmmm. Tak ada dupa pembakaran kemenyan. Yang ada adalah membakar menyan melalui rokok. Lalu, si perokok menyan ini memperhatikan diriku.Ia melempar senyum. Aku pun senyum tanpa memperlihatkan mulut dan gigi lantaran mengenakan masker. Ia kemudian pun memakai masker yang sedari tadi dilepas.
Aku mendekat. Si pemuda paruh baya itu menyambut. Dan, dari atas jembatan penyeberangan inilah kami berbincang dengan didahului memperkenalkan diri masing-masing.
"Saya datang dari kulon," katanya tanpa menyebut namanya.
"Saya Jojon, dari kampung Sawah," kataku singkat.
Kupahami, maksud kata kulon adalah dari arah barat. Bisa jadi ia datang dari Banten. Provinsi pemekararan dari Jawa Barat ini memang beken dengan ilmu goibnya.
Tanpa basa-basi, kutanyakan tujuannya mengapa menggunakan menyan pada rokok yang dihisap.
Ia pun tanpa basa-basi, langsung menjelaskan tujuan rokok kemenyan yang dihisapnya itu.
Katanya sambil mencabut rokok dari bungkusnya, rokok ini dimaksudkan untuk menyemangati para pengunjuk rasa menyalurkan aspirasinya. Secara fisik mereka masih muda, tetapi keteguhan hati dalam memperjuangkan haknya belum tentu sebaik yang diharapkan.