Pasca UU Cipta Kerja disahkan legislatif, buruh menyambutnya dengan unjuk rasa. Ruas jalan raya dekat Istana Jakarta dijadikan pusat para buruh melampiaskan kekecewaannya.
Dari persimpangan Jalan Harmoni, melalui tayangan siaran langsung televisi, para buruh tak nampak lagi berteriak menyuarakan tuntutan. Mereka lebih menikmati pedihnya muka dan kulit anggota badan sebagai dampak sasaran tembakan gas air mata petugas.
Mata perih yang diderita tak sebanding dengan hati mereka yang tengah merintih. Lebih sakit. Lebih sakit lagi anggota keluarga terancam tak makan lantaran sudah hampir setahun mereka kebanyakan terkena pemutusan hubungan kerja akibat pandemi Covid-19.
Jangan pandang unjuk rasa itu sebagai wujud tidak suka dengan pemerintah. Jangan pandang kepedihan hati mereka dapat terobati seketika. Untuk saat itu, hanya nasi bungkus memang jadi pelipur lara sementara.
Sudah tentu para buruh tak akan berniat, apa lagi untuk membeli gedung parlemen yang dilelang murah melalui media sosial.
Mereka tak akan mampu membeli sekalipun di bawah harga normal. Digratiskan pun untuk tinggal di gedung parlemen yang terhormat itu para buruh menolak.
Sebab, komunitas buruh bukan di situ. Mereka pun melampiaskan kemarahannya bukan di ruang berudara sejuk di gedung itu. Mereka lebih memilih berteriak lantang di luar parlemen. Bukan seperti anggota parlemen dengan standar gaji melangit namun enggan menyisihkan gajinya untuk buruh miskin.
Di lapangan terbuka seperti di beberapa ruas jalan, buruh melaksanakan ritualnya. Mereka, sambil melempar batu ke arah pak polisi disertai harapan. Mungkin di antaranya sambil berdoa, moga-moga hari ini nasi bungkus cepat tersaji sekedar mengusir rasa lapar.