Tuan Guru melihat langsung pekarangan belakang rumah milik Ibu Melati. Wajahnya terlihat kecewa berat. Marah. Ia seperti orang yang baru merasakan tim kesebelasan kesayangannya dikalahkan pihak lawan.
Sambil berdiri, pandangannya seperti tengah melahap apa yang disaksikan. Dicermati satu per satu benda-benda yang muncul di hadapannya.
Kemudian ia menarik nafas panjang.
"Astagfirullahadzim. Berat," katanya sambil melangkah dengan nada perlahan.
Namun langkahnya terhenti ketika menuju ruang tengah. Seolah ia tak percaya, kembali balik ke pekarangan belakang untuk kembali melihat benda-benda yang terlihat pada pandangan pertama.
Ia mencermati beberapa benda asing, bangunan rumah dengan bentuk aneh. Tentu saja bangunan tersebut tidak dimiliki kebanyakan warga di Desa Peniti. Sebuah desa terpencil yang hanya diisi satu-satunya bangunan megah milik Ibu Melati.
Tuan Guru menarik nafas dalam lagi. Melangkah ke depan dengan didampingi anggota keluarga terebut.
Setelah duduk di ruang tamu, di situ sudah duduk Ibu Melati bersama suaminya Pak Tejo. Beberapa anggota keluarga juga ikut hadir.
"Silakan minum dulu, Tuan Guru?" pinta Ibu Melati dengan suara perlahan sambil menahan rasa sakit di dadanya.
Lalu, sang ibu itu membuka pembicaraan. Ia bercerita tentang sakitnya yang sudah lama namun dokter tak kunjung mampu mengobatinya.
"Saya sudah paham," kata Tuan Guru.