Lihat ke Halaman Asli

Edy Supriatna Syafei

TERVERIFIKASI

Penulis

Kala Banjir Datang, Anies Baswedan Makin Lihai Menata Kata?

Diperbarui: 5 Januari 2020   12:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Warga tengah mengungsikan motor. Foto | Kompas.com

Sudah menjadi sunatullah, hujan dapat mendorong manusia makin pandai menata kata. Kata bermuatan emosional, kata bermuatan rasa sedih dan gembira, kata bermuatan romantis dan cinta.

Dan, ada pula manusia pandai memaknai hujan dengan rasa syukur kepada Sang Maha Kasih dan Sayang dengan penataan kata-kata yang agung.

Meminjam kata 'sunatullah' yang belakangan ini populer lantaran diangkat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswean, hujan juga bisa melahirkan perdebatan, perselisihan paham lantaran para petinggi negeri berbeda memaknai apa yang dikerjakan sebagai tindakan antisipasi misibah akibat hujan datang setiap tahun.

Musim hujan memang selalu mendorong mansia pandai menata kata. Muatan yang tertata dalam kalimat bisa beragam. Bisa berupa umpatan, rasa kebencian dan penyesalan lantaran para pemimpinnya berhianat tak amanat sebagaimana kala mereka berjanji pada kampanye.

Tapi, kata seorang rekan dalam obrolan warung kopi dalam suasana hujan rintik di kawasan Jakarta Timur, kala musim hujan dapat mendorong manusia pandai mengungkap dan menata kata penuh rasa kagum. Manisnya untaian kata dalam kalimat terdengar demikian indah.

Persis, seperti kita bica dalam sejarah jazirah Arab. Kata yang ditata penyair membuat warga Mekkah terperangah. Puisi paling indah lalu dituliskan dalam bentuk spanduk, kemudian dibentangkan di Ka'bah supaya seluruh anggota warga memujinya. Masyarakat jahiliyah memang pandai memainkan kata sehingga kala Alquran turun pun ingin ditandinginya dengan puisi yang mereka buat.

Hasilnya apa?

Ya nggak level. Firman Allah mau dilawannya. Siapa elu!

Alquran yang pada zaman dulu oleh musuh-musuh Rasulullah Muhammad Saw dinilainya puisi-puisi berisi kebohongan. Terutama dari kalangan para warga Mekkah yang membenci Nabi Saw.

Kini, Kadal Gurun bin Abu Jahal tengah tiarap dalam musim hujan di Jakarta. Mungkin kedinginan karena kediamannya ikut kebanjiran. Tak ada tanda selalu hadir kala musibah datang sebagaimana dikampanyekan. Menurut rekan penulis sambil nyeruput kopi pahitnya itu, jangankan memberi pertolongan kepada warga tertimpa musibah kebajiran, batang hidungnya saja tak nampak.

Kita merasa sakit hati, tentunya. Kala musibah datang, permainan kata manis terus dimainkan. Bahkan kalimatnya jauh dari kejujuran. Ia lupa bahwa hal itu sama dengan menyimpan bangkai di hadapannya sendiri. Suatu saat, baunya akan menyebar ke seluruh pelosok ruang. Bau itu sudah dirasakan sedikit demi sedikit bagai orang main kartu yang dipirit. Kita tinggal menanti karena hal itu menyangkut soal waktu saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline