Para ulama dari berbagai penjuru dunia, termasuk dari Tanah Air, perlu menyatukan sikap untuk menata para perempuan yang tengah menunaikan ibadah haji dan umrah di Masjidil Haram.
Tujuannya selain memberi perlindungan juga memberikan rasa nyaman bagi para muslimah dalam menunaikan ibadah di Masjidil Haram, Mekkah, setiap waktu.
Selama ini para perempuan dari berbagai belahan dunia yang menunaikan ibadah umrah dan haji di rumah ibadah terbesar di dunia ini terasa kurang maksimal dalam hal mendapat pelayanan dari otoritas setempat.
Selain ketika shalat menyatu dengan jemaah lelaki (pria) di berbagai tempat (lantai satu, dua dan tiga) masjid tersebut, juga sering mendapat perlakuan tidak mengenakan dari pihak askar lantaran sering diusir dari satu tempat ke tempat lain.
Berbeda dengan jemaah pria. Jika diperlakukan tidak baik, protes keras kepada askar langsung disampaikan. Juga jemaah pria lebih leluasa mengambil posisi tempat shalat sesuai seleranya. Apakah mau dilantai atas atau dekat kawasa Ka'bah. Yang penting tidak mengganggu lalu lintas orang ketika tawaf.
Ketika tawaf memang pria dan peremuan dapat berlangsung bersamaan. Tidak membatalkan ketika bersentuhan (berbeda seperti di Tanah Air) karena ada ketentuan fikihnya dalam hal ini. Kita pun paham ketika tawaf berlaku ketentuan dari mashaf Hanafi. Kita, di Indonesia dan beberapa negara Asia, adalah penganut mashaf Imam Syafii, ya ikut aturan setempat, dong!
Nah, ketika pria dan perempuan shalat ini jadi persoalan. Nampaknya kaum hawa ketika shalat seperti tidak diberi fasilitas memadai. Di lantai tiga banyak kaum ibu shalat di situ. Tapi, areal yang digunakan tak sebanding yang kaum Adam. Kecil dan sempit.
Kita harus paham, termasuk otoritas setempat dan manajemen Masjidi Haram, jumlah jemaah umrah dan haji dari tahun ke tahun tidak selalu didominasi kaum pria. Para perempuan sudah memiliki kesadaran bahwa hak mereka untuk ibadah juga harus setara hak dan kewajiban para lelaki.
Bukankah ibadah haji dan umrah selalu mengenang jejak isteri Nabi Ibrahim, Siti Hajar dan puteranya Nabi Ismail ?
Lalu, mengapa kaum perempuan tidak ditempatkan pada posisi terhormat?