Sejak memasuki tahun politik hingga pasca Pilpres 2019, posisi pers nasional bagai terombang ambing. Beruntung awak media yang berada di kapal tengah mengarungi lautan itu tidak karam.
Di penghujung tahun politik, dua kubu Pilpres saling klaim kemenangan. Kubu 02 Prabowo Subianto - Sandiaga S. Uno mendeklarasikan kemenangan Pilpres 2019 dengan mendasarkan hasil hitung internal.
Juga kubu 01 Joko Widodo - KH Ma'ruf Amin melakukan hal serupa dengan berpegang pada hasil hitung cepat. Sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih melakukan rekapitulasi suara.
Jika kita cermati dalam waktu bersamaan, pers tak lagi mengindahkan kedalaman berita. Awak media telah mengembangkan jurnalisme talking news. Proses editing tak maksimal. Sebuah ucapan dari narasumber ditelan mentah-mentah, disuguhkan ke publik sebagaimana adanya.
Realitas itu membuat kita tersadar. Bahwa peristiwa itu adalah bagian konsekuensi yang harus diterima dari kemajuan teknologi informasi. Pers tak lagi bisa menolak kenyataan tuntunan mengejar aktualitas dan kecepatan yang demikian tinggi. Tanpa sadar pers tak lagi mementingkan apakah dirinya tengah berada di pihak 01 atau 02.
Tegasnya, pers dalam melaksanakan profesinya telah terbelah. Namun keadaan itu juga banyak terjadi di tengah masyarakat dan profesi lain. Sebut saja ulama terbelah, organisasi kemasyarakatan (Ormas) terbelah, partai politik terbelah. Profesi lain pun mengalami hal sama meski tak diakui secara formal.
Pada situasi memanas, pers pun tak dapat mengelak untuk mengekspose suatu pernyataan dari pihak yang tengah bersengketa. Kenyataan ini diakui Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo.
Pemilu 2019 seharusnya menjadi proses pendidikan politik bagi masyarakat. Namun, realitasnya, pers telah mengekspose komentar-komentar orang yang menimbulkan kemarahan.
Sungguh memprihatinkan, kita membiarkan meme beredar massal di media sosial dengan cara merendahkan sekaligus melecehkan para politikus dan calon-calon pemimpin kita.
Pria yang akrab disapa Stanley, di acara Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara bagi Wartawan se-Indonesia di Cisarua, Bogor, Rabu (24/4), mengingatkan bahwa di tengah situasi para pendukung kedua kubu terus menggalang massa dan opini, maka media perlu skeptis dan menguji kebenaran semua informasi yang didapat.
Pers ditekankan perlu mengubah jurnalisme talking news dengan jurnalisme presisi. Pers harus melakukan cek dan ricek terhadap semua fakta, data dan informasi yang disampaikan semua pihak.