Sejak zaman kuda gigit besi, Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama sudah menggaungkan bahwa menunaikan kewajiban pergi haji sekali (seumur hidup) bagi seseorang, namun hasilnya tidak menggembirakan.
Niat berangkat menunaikan ibadah haji seyogianya diarahkan sekali, nyatanya tidak dapat sambutan gembira di kalangan masyarakat muslim meski disadari bahwa aturan itu patut diindahkan. Dulu, kala mantan komisioner Komisi Pemberantan Korupsi (KPK) M Jasin menjabat Irjen Kemenag, perihal ini sering diangkat di hadapan publik.
Bahkan ia minta para ulama ikut berperan melakukan sosialisasi penguatan pemahaman masyarakat bahwa kewajiban untuk menunaikan ibadah haji hanya sekali seumur hidup.
Diperlukan dukungan dan kesadaran dari masyarakat untuk memberikan kesempatan kepada orang lain yang belum berhaji. Jadi, haji sekali dalam seumur hidup adalah hukumnya wajib. Sementara yang sudah berhaji hukumnya sunnah. Jangan sampai yang sunnah mengalahkan yang wajib.
Baru-baru ini Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nizar, dalam sebuah jumpa pers menyatakan bahwa Pemerintah Arab Saudi memberlakukan kebijakan visa progresif bagi jemaah yang sudah pernah beribadah haji dan akan barangkat lagi tahun ini.
Di sini, Dirjen PHU Kemenag tak menyebut visa progresif berlaku untuk berapa lama (tahun) bagi seseorang yang telah menunaikan ibadah haji. Apakah dua tahun, lima tahun atau tiga tahun. Sebab, pengumuman tentang masa berlaku visa tersebut terkesan "tarik-ulur". Arab Saudi pernah mengumumkan berlaku dua tahu, lima tahun dan akhirnya sekarang tiga tahun.
Andai kita berpegang pada pengumuman visa progresif dari Arab Saudi yang terakhir, sungguh tidak adil rasanya bahwa pada tahun lalu biaya visa calon jemaah haji ditanggung dari komponen biaya haji, indirect cost.
Padahal, jika kita ingat, antrean orang menunaikan ibadah haji dari tahun ke tahun makin panjang. Ada suatu daerah yang tercatat 20 tahun ke depan baru dapat menunaikan ibadah haji. Umumnya, mereka sudah melunasi pembayaran awal di bank yang ditunjuk, sebesar Rp 25 juta.
Bisa jadi, jika menganut prinsip keadilan dan secara ekonomis, orang yang mengantre demikian lama itu sudah dapat bebas dari biaya pelunasan karena akumulasi uang yang disimpan telah beranak-pinak.
Visa progresif sebenarnya sudah diberlakukan sejak tahun lalu. Namun, biaya tambahan tersebut dibebankan kepada indirect cost atau hasil optimalisasi dana setoran awal jemaah. Nah, sekarang nasi sudah jadi bubur, sudah terlanjut.
Terpenting tahun ini dan ke depannya, biaya visa progresif dibebankan kepada jemaah harus benar-benar serius disikapi. Dan, agar kebijakan ini tak dipersalahkan, lantas pihak Kemenag menyebut bahwa kebijakan itu sudah disepakati bersama Komisi VIII DPR RI.