Ribet dan Ribut. Itulah kesan yang dapat dipetik pasca-debat Pilpres II, Minggu malam lalu. Disebut ribet lantaran urusan mudah dibuat ribut. Urusan yang tidak perlu diributkan, eh malah dibuat ribet hingga jadi ribut di akar rumput.
Tapi kita harus gembira dengan ribet dan ribut itu. Kita tercerahkan dengan kondisi politik terkini. Toh, yang ribut itu kan para elite politik. Atau orang-orang cemas dan takut kehilangan panggung di tahun politik. Maka, pasca-debat Pilpres II, dicarilah celah yang dapat dimasuki untuk dapat "digoreng" sebagai isu hingga mengentak perhatian publik.
Rakyat, utamanya warga kelas "bawang", hanya dapat menganga. Mulut terbuka menyaksikan keriuhan orang-orang yang cemas takut kehilangan posisi dan panggung di hadapan layar televisi. Beruntung mereka, lalat tak hinggap masuk ke mulut. Maka selamatlah dirinya dari kuman penyakit yang dibawa lalat, seperti: E.colli, Helicobacter pylori, Salmonella, Rotavirus, Virus hepatitis A.
Kita pun tahu bahwa lalat banyak hinggap di tempat kotor dan menjijikkan.
Dan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) memang sudah lama mengingatkan banyak penyakit yang disebabkan oleh makanan dihinggapi lalat, seperti: desentri, diare, deman tifoid atau tipes, kolera, infeksi mata dan infeksi kulit.
Debat Pilpres sejatinya adalah bagian dari gambaran realitas negara demokratis. Maka, sah saja, siapa pun dia, dapat melaporkan peserta pasangan calon (Paslon) Presiden 01 atau Paslon 02 yang dianggapnya tidak mengindahkan aturan main. Utamanya, kala debat pilpres berlangsung.
Namun ada di antara orang banyak memaknai debat dua pasangan Paslon Presiden itu sebagai dua kesebelasan yang tengah bertanding. Siapa yang mengambil posisi sebagai tuan rumah dan tim mana yang tengah bertandang di kandang lawan. Yang jelas, tuan rumahnya adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Tentu, bila diumpamakan pertandingan sepak bola diperlukan seorang wasit . Dalam pemilihan umum ada yang bertindak sebagai wasitnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dengan seperangkat pendukungnya. Kalau di sepak bola dibutuhkan seperti inspektur pertandingan, hakim garis dan lainnya. Maka, dalam debat pilpres, perlu kelengkapan seperti ruang yang memadai dan pemandu acara.
Menariknya, setiap usai pertandingan, celoteh pengamat lebih seru ketimbang ketika kita menyaksikan pertandingan itu sendiri di tepi lapangan hijau. Lantas mencuat pemberitaan, ketika tim kesayangan menderita kekalahan, pelatih dan manajer tim mengalihkan perhatian kekalahan itu dengan mencarikan "kambing hitam". Apalagi jika pertandingan bersangkutan tercikum "aroma" suap.
Demikian juga pasca-debat Pilpres itu. Ada kritik, penyelenggaraan berikutnya perlu disempurnakan lagi. Pada debat kedua merupakan hasil penyempurnaan atas berbagai saran dan masukan dari berbagai pihak.
**