Lihat ke Halaman Asli

Edy Supriatna Syafei

TERVERIFIKASI

Penulis

Cerita Imlek di Hat Yai dan Gambaran Akulturasi

Diperbarui: 3 Februari 2019   04:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang peziarah tengah memanjatkan doa sambil mengusap shio babi di sebuah kelenteng, di Hat Yai, Thailand. Foto | Dokpri

Jauh sebelum imlek 2019 tiba, kelenteng di kawasan Cable Car, Hat Yai, Thailand pada awal Januari lalu, sudah banyak dikunjungi para peziarah dari berbagai negara. Khususnya bagi umat penganut Agama Buddha. Meski begitu, banyak juga umat Kristiani dan warga setempat beretnis China ikut berziarah di sini.

Pada Imlek 2019, menurut penanggalan China, jatuh pada 5 Februari. Jadi, tahun Baru Imlek 2019 dimulai pada Selasa, 5 Februari dan berakhir pada hari Jumat, 24 Januari 2020. Lazimnya seperti tahun lalu, beberapa kota, terutama di pusat keramaian banyak dihiasi lampion untuk menyambut tahun baru tersebut.

Berdoa. Foto | Dokpri

Di kota ini suasana imlek, penulis saksikan,  mulai terasa meski perayaannya masih sekitar sebulan lagi. Lampion nampak di beberapa tempat. Warga setempat seolah sudah rindu datangnya tahun baru. Saat memasuki imlek, seperti disebut pemadu wisata, kota akan terasa sibuk menyambut Imlek. Yang menarik pada setiap tahun baru China ini selain disambut dengan suka cita juga berupa munculnya ramalan shio. Tahun baru China 2570 disebut bershio Tahun Babi Tanah.

Penulis tak punya kapasitas dalam ramal meramal berdasarkan shio. Meski begitu, penulis saksikan para peziarah di kelenteng Cable Car Hat Yai itu umumnya berdoa dan berharap pada tahun Babi Tanah itu keberkahan dan kesejahteraan akan menyertai dalam kehidupannya.

Pelancong dari Indonesia kunjungi kelenteng. Foto | Dokpri

Dan, dari kejauan, selalu saja terdengar suara petasan di atas perbukitan. Dentuman suara petasan yang berulang-ulang mendorong penulis untuk segera datang ke lokasi tersebut. Untuk mencapainya, kita harus menggunakan kereta gantung.

Dalam suatu obrolan dengan seorang pemandu wisata di Hat Yai, didapati keterangan bahwa astrologi Tionghoa ditetapkan berdasarkan shio. Tercatat ada 12 Shio yang dikenal dalam astrologi Tionghoa: Tikus, Naga, Monyet, Kerbau, Ular, Ayam, Harimau, Kuda, Anjing, Kucing, Kambing, dan Babi.

Shio menggambarkan kepribadian dan diwujudkan kepada tiap simbol berupa binatang. Astrologi Tionghoa ditetapkan Dinasti Han pada kalender lunar, Tahun Babi Tanah menjanjikan keberuntungan dan berkat bagi semua Shio.

DAri mancanegara juga hadir. Foto | Dokpri

Menariknya, meski disebut keberuntungan bagi semua pemilik shio pada setiap tahun, diramalkan pula kehidupan seseorang berdasarkan shio yang paling beruntung dan yang paling sial di Tahun Babi Tanah nanti?

Lepas dari shio yang membawa keberuntungan atau tidak pada Tahun Babi Tanah ini, umat tetap mendatangi kelenteng untuk berdoa agar dijauhi dari bahaya dan doanya dikabulkan.

Catatan penulis, sejatinya Imlek merupakan perayaan tahun baru terpenting bagi etnis Tionghoa (China), dimulai di hari pertama bulan pertama di penaggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama).

Bakar petasan. Foto | Dokpri

Tahun Baru China ini dirayakan dengan tradisi sangat beragam. Ada perjamuan makan malam serta pesta kembang api.

Di Indonesia, etnis China banyak bermukim di Palembang, Bangka-Belitung, Medan, Singkawang, Pontianak dan beberapa kota di Jawa (Jakarta, Semarang dan Surabaya). Tahun Baru Imlek dianggap sebagai hari libur besar untuk orang Tionghoa dan memiliki pengaruh pada perayaan tahun baru di sejumlah negara Asia.

Tahun Baru China dirayakan dengan meriah di daratan Tiongkok, Hong Kong, Macau, Taiwan, Singapura, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand.

Perayaan tahun baru Imlek sempat dilarang di Indonesia pada 1965-1998. Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, melarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek.

Pelancong dari Singapura juga hadir. Foto | Dokpri

Warga keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Karena itu, di kalangan etnis China, Gus Dur atau Abdurrahman Wahid, amat dihormati dam diberi gelar sebagai tokoh pluralisme.

Presiden Megawati Soekarnoputri menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2002 tertanggal 9 April 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. Mulai 2003, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline