Boleh jadi kala elit politik tengah mencari "panggung", pedagang kecil mendapat "angin" alias perlindungan ketika ditertibkan pihak otoritas setempat. Bisa jadi polisi pamong praja "tutup mata" kala pedagang merebut hak pejalan kaki di berbagai tempat lantaran merasa takut diperkarakan dengan isu kekerasan terhadap "wong cilik".
Penertiban pedagang kaki lima di Jakarta bukan perkara mudah. Agar membuahkan hasil, Pemda DKI sering dijumpai dalam melaksanakan penertiban berkoordinasi dengan pihak kepolisian. Polisi Pamong Praja tidak cukup "gigi" menghadapi pedagang kaki lima. Apa lagi ketika berhadapan dengan pedagang yang merasa sudah menyetor kepada para preman "uang keamanan".
Bukan rahasia umum satu kawasan kaki lima menjadi bagian kelompok tertentu. Jadi, setiap kawasan ada "penguasanya". Sementara Satpol PP yang punya kewajiban untuk membersihkan trotoar dari pedagang kaki lima tak cukup kuat menghadapi "penguasa" trotoar. Karena itu, Pemda dalam melaksanakan tugasnya untuk memberikan kenyamanan bagi pejalan kaki harus berhitung dengan kekuatan yang dimiliki.
Jika pihak pedagang kaki lima dan kekuatan lain berada di belakangnya, bisa jadi penertiban gagal dilaksanakan. Sering terjadi Satpol PP menjadi korban ketika melaksanakan penertiban. Sering pula rencana penertiban "bocor" sebelum dilaksanakan.
HakPejalanKaki selalu saja dirampas. Peristiwa Gubernur DKI Anies Baswedan membolehkan pedagang kecil berdagang di sebuah jalan raya di kawasan sekitar Tanah Abang adalah sebuah contoh buruk. Kebijakan terkesan belas kasihan kepada pedagang itu memberikan kesan bahwa pedagang lain diberi toleransi melanggar aturan bahwa trotoar dapat digunakan untuk berdagang.
Tentu saja, berikutnya, merepotkan aparat Pemda DKI Jakarta itu sendiri.
HakPejalanKaki selalu saja dirampas. Coba saksikan dalam sehari-hari di kawasan Lapangan Banteng. Sekarang dapat kita saksikan, bekas terminal bus terbesar di Jakarta itu demikian indah dipandang mata.
Sayangnya, jika anda berkeliling lapangan yang banyak dimanfaatkan karyawan ASN (Aparat Negeri Sipil) dan tentara yang berkantor dekat kawasan itu untuk berolahraga, mulai tumbuh sisi-sisi pengabaian aturan ketertiban. Terutama di Lapangan Banteng Timur, selain banyak digunakan sebagai sarana parkir mobil (rusak) juga warung kecil di kaki lima.
Bergeser ke lokasi lain. Bila anda berjalan kaki ke Terminal Pondok Ranti, dari arah perapatan Garuda, tak ada ruang untuk pejalan kaki. Kemacetan di tempat ini selain disebabkan jalannya memang sempit, juga tak ada kemauan pemerintah untuk melebarkan jalan tersebut. Gubernurnya memang sudah berganti-ganti, perubahan atau pelebaran jalan tak pernah tersentuh.
Bergeser sedikit dari lokasi itu, Jalan Taman Mini. Persis di perapatan mall sering macet lantaran banyaknya angkot dan pedagang kaki lima mangkal di sini. Kala jam kerja, memang ada petugas polisi mengatur lalu lintas. Tapi, tenaga mereka pun terbatas dan tak mungkin bekerja siang dan malam di lokasi itu terus menerus.
Satpol PP sering menongkrongi kawasan itu. Mobil Satpol PP ditempatkan di depan taman anggrek. Maksudnya, untuk menakut-nakuti pedagang. Tapi, ya tetap saja muncul pedagang seperti main "kucing-kucingan". Masih ada pedagang berani memanfaatkan trotoar untuk berdagang demi sesuap nasi.