Kalimantan Barat (Kalbar) sejak dulu dikenal dengan pertambangan emas di atas permukaan tanah. Kandungan emasnya, hehehe tak terkirakan. Sayang, saya tak pegang data. Tapi, kata pakar pertambangan, melihat dari tekstur tanahnya saja orang mudah mengenali tanah bersangkutan mengandung emas atau tambang lainnya.
Kala bertugas di provinsi ini, penulis sering melakukan perjalanan jurnalistik ke berbagai pelosok. Meski rada ngeri dan sedap lantaran kawasan itu masih dilanda konflik antaretnis, (1995 -- 2001) kerja harus dilakukan untuk memenuhi tuntutan kantor demi sesuap nasi, menjaga dapur tetap ngebul dengan alasan mulia menjaga integritas profesi. Heheh keren kedengarannya, ya?
Kunjungan paling menarik adalah mendatangi wilayah pertambangan liar seperti di Kabupaten Sintang, Bengkayang, Ketapang dan sejumlah tempat di Kabupaten Pontianak.
Kata orang banyak, bila di situ ada gula maka semut berdatangan. Kala orang mendapatkan uang dengan mudah di suatu tempat maka dapat dipastikan mata orang melirik dan kemudian mendatangi untuk bekerja dengan tujuan mengeduk keuntungan.
Perhatian penulis bukan saja pada pekerja tambang liar yang bekerja penuh heroik menyemprotkan air ke permukaan tanah. Lalu permukaan tanah menjadi lubang besar menyerupai situ, kemudian disusul dengan kerusakan lingkungannya. Tetapi, di sini yang menarik, hadirnya bedeng-bedeng liar dengan wanita cantik berjalan berlenggak-lenggok.
Nah, kalau sudah begini, tentu muncul di benak kita beberapa pertanyaan. Kok, di tengah hutan penambangan liar bisa hadir wanita cantik membuka kedai? Kok, bedeng bisa berdiri demikian cepat. Adakah yang mensponsori para penambang di situ? Bagaimana bisa masuk ke dalam hutan peralatan penyemprot tanah dan pengolah penyaring pasir?
Jawaban yang mudah didapat adalah jelas ada pihak sponsor. Tapi yang jelas bagi kita, orang kecil tak mungkin punya nyali menjadi sponsornya. Kalau ada, ia pasrah tanahnya digarap dengan imbalan secuil uang. Maklum, sponsornya pun punya kekuatan di belakang layar. Gitulah senyatanya.
Maka, tak heran kala dilakukan operasi besar-besaran terhadap penambang liar tersebut, terungkap ada oknum aparat ikut terlibat. Tentu saja pihak kepolisian untuk menyelesaikan harus berkoordinasi dengan para petinggi di Jakarta. Hasilnya, senyap. Kasusnya lalu masuk peti bersama sejumlah kilogram emas. Jika saja kasus tersebut terjadi di zaman now, tentu akan ramai. Di era orde baru, kasus ginian seperti angin lalu saja.
Kembali kepada soal wanita cantik tadi. Kebanyakan mereka tak paham bahasa lokal dan lebih banyak menggunakan bahasa dari Pulau Jawa. Mereka ini pandai memasak, berjualan dan menjual minuman keras. Pendek kata, para wanita ternyata merangkap kemahiran berdagang dan melayani para penambang siang dan malam.
Awalnya, penulis mengira mereka itu adalah bagian dari anggota keluarga penambang liar. Suami-isteri. Ternyata, mereka mencari uang dengan cara tidak sebagaimana mestinya. Menjadi wanita penghibur dan melayani kebutuhan syahwat para penambang setempat.
Lahirnya kawasan prostitusi di daerah pedalaman Kalbar umumnya diawali hadirnya pertambangan liar. Sekalipun pendapat itu masih dapat didebat, tetapi kala prostitusi ditutup kemudian para wanita penjaja seks itu berkeliaran ke kota-kota.