Elite politik kala tampil di atas mimbar kadang lupa "daratan", bahwa ia saat itu tengah berhadapan dengan publik dengan aneka ragam perbedaan. Kadang elite politik merasa dirinya jauh lebih tahu, lebih pandai, lebih berpengalaman dalam mengatur negara dengan segala tetek bengek ikutannya.
Elite politik kadang memandang rendah, bisa jadi karena terlalu percaya diri, terlalu sok kuasa karena memiliki jaringan luas kepada masyarakat. Ini sah-sah saja. Wajar. Tapi, karena saking berlebihan yang dimiliki pada dirinya itu, berceloteh pun seenaknya.
Kita sering menyaksikan melalui media massa. Kepada awak media, elite politik sering sesumbar mengangkat isu Suku, Ras, Agama dan Antargolongan (SARA). Dapat kita saksikan. Dulu tidak ada pengotakan partai berdasarkan neraka dan surga.
Mungkin penyematan partai berdasarkan neraka dan surga itu terinspirasi dari banyaknya sarjana agama (S.Ag) yang kemudian diplesetkan menjadi sarjana alam gaib. Lantas, partai juga pantas disematkan dengan neraka dan surga. Heheheh...
Ke depan, memasuki Pilpres 2019, potensi memainkan isu SARA makin menguat. Bisa jadi posisi ulama pun dimainkan para politisi amatiran untuk memetik untung dan mendulang suara. Maka, boleh jadi, polisi akan banyak menerima laporan pencemaran nama baik.
Padahal, kita sudah sepakat bahwa peranan agama sebagai perekat bangsa. Agama yang hadir di Bumi Pertiwi ini memiliki faktor integritas karena dalam ajarannya menekankan pentingnya persaudaraan atas dasar iman, kebangsaan, dan kemanusiaan. Agama juga mengajarkan kedamaian dan kerukunan di antara manusia dan sesama mahluk hidup. Ajaran agama seperti dikemukakan di atas sejatinya bersifat universal.
Sayangnya, ajaran agama bisa menimbulkan disintegrasi bila dipahami secara sempit dan kaku. Lantas, muncul prasangka negatif karena adanya dorongan bahwa setiap pemeluk agama meyakini bahwa agama yang dianutnya adalah jalan hidup yang paling benar. Keadaan diperburuk adanya sikap memandang rendah pemeluk agama lain.
Nah, di sini para elite politik harus punya kesadaran untuk memberikan pencerahan kepada publik. Sebab, dewasa ini, secara internal teks-teks keagamaan dalam suatu agama juga terbuka terhadap aneka penafsiran yang ada dapat menimbulkan aliran dan kelompok keagamaan yang beragam, bertentangan satu sama lainnya, sehingga dapat memacu terjadinya konflik.
Pertanyaannya, adakah kesadaran elite politik mengenai hal ini?
Elite politik, realitasnya sangat minim mengangkat isu agama sebagai perekat bangsa. Dalam lawatannya ke berbagai daerah, soal agama lebih banyak diserahkan kepada para ulama, kiai, pimpinan pondok pesantren yang dianggap menjadi domainnya mengurusi akhlak, mengurusi tingkah laku umat untuk berbuat baik, meninggalkan perbuatan buruk dan menjalankan perintah Allah.
Padahal, urusan akhlak tidak cukup dilakukan tokoh masyarakat, ulama dan pemangku adat di berbagai daerah. Semua pihak perlu saling bahu membahu. Dengan cara itu, program revolusi mental dapat membuahkan hasil.