Dia yang berkehendak, karena Dialah sang pencipta dan mengatur segala bumi dan seisinya. Ia mengatur peredaran bulan dan matahari beserta planet-planetnya sehingga tidak saling bertabrakan. Semua bergerak mengikuti sunatullah. Termasuk Dia yang berkuasa atas atas diri kita. Kok, malah Tuhan diprotes kala musibah berupa gempa datang.
"Jawabanmu tidak perlu disebut dan diperpanjang. Kusudah tahu Tuhan Maha di atas segalanya. Dan, diri kita pun, Dialah yang menggegam. Mau diapakan! Ya, terserah kepada pemilik-Nya," jawab temanku.
Temanku itu ternyata lebih pandai tentang pemahaman akidah dan iman. Karena itu penjelasan seputar datangnya musibah ditimpali dengan komentarinya agar aku menghentikan penjelasan lebih jauh. Aku pun mengerti. Pasalnya, prihal pemahaman ketuhanan dia lebih paham. Terlebih pendidikannya berlatar belakang pondok pesantren.
Aku hanya terdiam. Ia pun diam berhadap-hadapan dalam satu obrolan di teras sebuah masjid seusai shalat zuhur.
Lama ia terdiam. Kupandangi wajahnya makin jelek disertai air mata mengalir. Ia terisak dan akhirnya meledak tak kuasa menahan beban berat di dada.
Aku tetap bertahan tak menegurnya. Kubiarkan dia menangis sepuasnya di hadapanku. Orang yang lalu lalang keluar masuk masjid sempat menoleh. Tapi akhirnya berlalu begitu saja.
Akhirnya aku tak kuasa berlama-lama menonton rekan menangis. Kupaksakan untuk bicara dengan sedikit merendahkan nada suara.
"Bandu, tak baik menangis berlama-lama. Lebih baik berdoa. Berzikir dan minta pertolongan Tuhan kala menghadapi masalah berat," pintaku.
Firdaus Ahmad Bandu, yang akrab dipanggil Bandu, adalah rekanku yang merasa terpukul akibat gempa bumi di Palu dan Donggala. Beberapa anggota keluarganya wafat dalam bencana tersebut. Belum lagi yang cedera dan belu diemukan. Ia tak kuasa menahan kesedihan.
Perlahan Bandu berkata, ingin rasanya memprotes Tuhan meski semua itu disadari sebagai perbuatan sia-sia.
**