Dulu, para orang tua dalam satu obrolan kadang menyelipkan kalimat, "dia baru pulang dari Grogol" dan disusul sebuah harapan kepada orang banyak agar menjaga orang itu dari perbuatan 'aneh' dan tidak semestinya seperti memusuhi orang yang tengah lalu lalang di tepi jalan. Atau bernyanyi seorang diri mengenakan pakaian compang- camping dan menyedot perhatian orang sekitar.
Namanya saja baru pulang dari Grogol. Dia bisa sembuh seratus persen atau tambah parah penyakitnya lantaran anggota keluarganya tidak cukup mampu secara ekonomi untuk membiayai si orang gila tadi. Ujungnya, ia bernasip terpuruk. Kalau beruntung ia dirawat lembaga sosial masyarakat atau LSM peduli, kalau tidak ya jadilah orang gila lontang lantung. Maklum, saat itu tak ada BPJS Kesehatan. Dinas sosial kota tutup mata karena kurang biaya untuk mengongkosi orang macam gituan.
Dia baru pulang dari Sungai Bangkong. Ini juga ungkapan yang sama bagi warga di Pontianak untuk para orang sakit jiwa. Jika di Jakarta untuk sebutan orang sakit jiwa dikaitkan dengan wilayah Grogol, dimana rumah sakit itu berdomisili, hal serupa juga terjadi di Pontianak. "Awas, dia baru keluar dari Sungai Bangkong!"
Di Jawa Tengah penulis pernah mengunjungi pondok rehabilitasi mental An-Nur di Desa Bungkanel, Kecamatan Karanganyar, Purbalingga. Pondok itu diasuh oleh KH Supono Mustajab yang sekaligus membimbing Sumanto, pemakan mayat manusia.
Penulis tak tahu apakah Sumanto sudah kembali kepada anggota keluarganya atau tidak. Tapi yang penulis ketahui Sumanto sudah bisa baca Surat Yasin. Hebat, kan!
Istimewanya KH Mustajab dengan kerelaannya mau juga merawat orang sakit jiwa lantaran tidak terpilih sebagai anggota legislatif. Anggota keluarga mengirim ke situ, tapi beberapa bulan berikutnya tak mau mengongkosi untuk kebutuhan kehidupan sehari-hari. Maka jadilah sang kiai merogoh kantong sendiri lebih dalam untuk menghidupi para orang tak waras itu.
Kala penulis ngobrol dengan KH Mustajab, -- saat mendampingi mantan Menag M. Maftuh Basyuni berkunjung ke rumah perawatan sakit jiwa itu, -- sang kiai menyebut orang-orang sakit jiwa ini umumnya tidak punya landasan keyakinan kepada ajaran agama dengan baik. Pemahaman agama setengah hati. Karena setengah hati, kala mendapat nasihat dan informasi untuk meluruskan pendapatnya, sangat sulit. Ibarat besi bengkok, untuk meluruskannya perlu dibakar dulu lalu diketok agar mudah lurus.
Sungguh, orang yang sudah tertutup mata hatinya sulit diberi nasihat. Kadang yang dinasihati nampak marah. Bahkan terlihat garang. Terlihat merasa benci kala melihat tokoh agama seperti ulama dan pendeta.
**
Kini, di tengah pelaksanaan Pilpres 2019 yang makin menghangat. Jika pernyataan KH Mustajab dituangkan dalam kalimat tercetak, kiranya patut digarisbawahi. Maksud penulis, dapat dijadikan pengingat bahwa pemilihan anggota legislatif senyatanya berpotensi melahirkan orang gila baru. Jika calon anggotan legislatif terpilih itu lolos dan terpilih juga punya potensi jadi orang kaya baru dan gila baru pula. Sebab, dia bisa mabuk dengan jabatan dan tamak dengan harta.
Hal itu berawal dari lemahnya jiwa para calon anggota legislatif. Sekalipun secara akademis yang bersangkutan punya tingkat pendidikan memadai, untuk urusan jiwa, akhlak dan rohani sulit diterka. Karenanya jika KPU punya rencana menyuguhkan calon anggota legislatif harus bebas dari perkara narkoba, pelecehan terhadap anak dan mantan napi korupsi sayogianya hal itu tidak cukup. Perlu juga melihat dari sisi lain, yaitu faktor kejiwaan para calon legislatif dengan pendekatan psikologis.