Bahqi hanya bisa tertunduk. Dadanya terasa sesak. Bukan lantaran sakit jantung ataupun paru-paru, tetapi karena persoalan rencana pernikahan terancam batal. Boleh dibilang, kini posisinya seperti 'telur di ujung tanduk'. Sedikit saja ada 'pemicu', maka proses percepatan bubar alias gagal menikah bakal jadi catatan sejarah buruk.
Batal bukan demi hukum seperti yang digaungkan hakim kala memimpin persidangan terhadap perkara yang ditangani. Sebab, ini bukanlah ranah hukum tetapi persoalan hati manusia yang tengah bergolak. Sementara publik yang terus menerus mengikuti perkembangan, tengah menanti mereka duduk di meja pernikahan untuk mendapat legitimasi bahwa mereka telah resmi sebagai pasangan seperjuangan.
Ah, terlalu jauh membicarakan itu. Apa lagi nikah, kata Bahqi di hadapan sejumlah rekannya di sebuah warung kopi.
Mendengar ucapan bernada keluhan, rekan Bahqi -- yang kerap setia menemani -- sebut saja Pailul, mendekat. Sambil menggeser kursi, Pailul mengatakan, dalam rencana nikah dan perkawinan itu biasa ada tantangan yang harus dilalui. Semisal ketika membicarakan tentang besaran mahar, tentang barang antaran, tentang transportasi yang akan dikerahkan untuk mengangkut rombongan besan hingga pembicaraan pada sewa gedung pernikahan dan untuk resepsi.
Belum lagi menghubungi anggota keluarga dan para juru bicaranya. Tetek bengeknya, banyak lah.
Ada hal yang dianggap banyak orang remeh temeh, tetapi ketika sudah masuk pembicaraan substansi, yaitu soal besaran mahar, di sini berbagai hal mengemuka. Mengapa?
Kata orang penggede, sekarang ini tidak ada makan siang gratis.
Bisa jadi kalau sang mertua orang kaya, ia akan meminta jaminan kepada calon mantu untuk benar-benar bersih dari segala hutang. Sebab, ia khawatir ketika memasuki perkawinan, tagihan hutang akan menjadi bebannya. Setelah itu sang calon mantu ditanyai tentang kesiapan rumah setelah nikah. Mau tinggal dimana dan apakah masih tetap konsisten dengan pekerjaannya yang digeluti.
Calon mertua yang kaya itu mungkin tidak akan menanyai apakah calon mentu tadi penah dibui atau terkena kasus lainnya, apakah pernah membunuh orang atau korupsi. Pernah menikah dan anaknya berapa.
Jadi, dalam ranah publik memang hal semacam ini kadang tidak mendapat perhatian. Tapi jangan dikira di sebagian masyarakat kita, apalagi dengan pengaruh globalisasi dan hedonisme, hal demikian telah menjadi bagian penting.
"Jadi, harus ditanggapi dengan sikap biasa-biasa saja," ujar Pailul sambil menatap Bahqi, yang sejak tadi memandangi kopi hingga dingin karena tak juga diminum.