Lihat ke Halaman Asli

Edy Supriatna Syafei

TERVERIFIKASI

Penulis

Kala Tanah Pariwisata Dikuasai dan Dikomersialkan Secara Ilegal

Diperbarui: 20 Juni 2018   20:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Objek Wisata Kawah Gunung Tangkuban Parahu| Sumber: kompas.com/Kristianto Purnomo

Jantung berdegup keras. Kepala terasa panas. Mata terasa melotot dengan pandangan kecewa menyaksikan tanah pariwisata dikuasai secara ilegal. Sementara publik tidak punya kuasa untuk meneriakan kekecewaannya.

Pada saat itu, jangankan menikmati kesejukan alam dengan tenang dan nyaman, untuk meletakan pantat saja sebagai tempat duduk terasa sulit, apa lagi untuk bercengkrama dengan anggota keluarga saat Lebaran itu. Itu tak lain disebabkan tanah pariwisata telah dikuasai secara ilegal.

Alam Provinsi Jawa Barat yang pada tahun-tahun lalu dapat dipandang elok, sejuk dan nyaman, pada Lebaran sekali ini telah membuat terasa sesak dada. Bukan lantaran kabut dengan rasa dingin dari Tangkuban Perahu, bukan pula dari uap air panas dari Subang, dan bukan pula kuda-kuda yang elok membawa para bocah di kawasan itu. Tapi, lagi-lagi, karena sulitnya meletakan pantat sebagai tempat duduk sambil menjulurkan kaki di kucuran air panas.

Kawasan pariwisata memang saat Lebaran tengah memanen pendapatan. Pengunjung berlimpah melebihi dari batas normal. Semua itu karena karunia Tuhan berupa keindahan dan segala manfaatnya bagi manusia. Dan manusia pulalah sebagai khalifah di permukaan bumi yang mengatur semua itu agar keindahan dan kenyamanan dapat dinikmati sebagai ungkapan rasa syukur mahluknya kepada sang maha pencipta.

Sayangnya, kepentingan publik telah dikorbankan. Harga teket yang melambung tak sebanding dengan kenikmatan dan kenyamanan yang harus didapat. Bisa jadi, hanya karena dorongan anggota keluarga dan waktu luang dari libur panjang saat Lebaran itu banyak orang mendatangi kawasan wisata.

Di kawasan Ciater, pengunjung penuh sesak. Antarpengunjung sering bersenggolan. Gadis-gadis genit pun tidak peduli lingkungan, tetap saja berangkulan dengan kekasih tercintanya. Ini terasa sekali membangkitkan selera muda, memang.

Lagi-lagi, sangat disayangkan, untuk mencari tempat duduk sulit. Di sejumlah aliran sungai kecil telah jadi kawasan persewaan. Tikar dihampar di sejumlah titik. Sehingga setiap pengunjung harus mengeluarkan uang ratusan ribu hanya untuk duduk sambil menikmati kaki terendam air panas. Para pengunjung membayar tanpa bon atau tanpa terima pembayaran. Ini jelas, ilegal.

Ciater, tempat air panas. Lahan rekeasi dikuasai secara ilegal, pasang tenda dan tiker lalu minta bayar sewa. Foto | Dokpri.

**

Jika anda pergi ke kawasan wisata di Selandia Baru, bisa jadi akan menjadi kenangan indah. Di negeri ini, objek wisata berupa keindahan alam tak berbeda jauh dengan yang ada di dalam negeri. Misalnya tentang gua dan aliran sungainya yang dialiri air berkelok dingin. Termasuk tanah-tanah kapur mengeluarkan asap karena banyaknya belerang.

Kala memasuki kawasan wisata, para pemandu wisata menjemput kita di pintu gerbang dengan salam "adu hidung". Karena hidung orang dari Asia 'pesek', ya tak menyentuh hidung para penyambut tamu itu, kita cuma bisa tertawa dan si penyambut tamu merasa senang menyaksikan tamunya tertawa terpingkal-pingkal.

Kala ada memasuki kawasan wisata Pulau Santoso, di Singapura, misalnya. Para pemandu wisata di sana bersikap ramah. Meski mereka ada di antaranya mengerti Bahasa Indonesia, tetapi mereka lebih suka menggunakan Bahasa Inggeris sekaligus untuk memunculkan kesan bahwa kasawan itu dikelola dengan standar internasional.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline