Bukankah Belajar Tidak Kenal Tua, Bu?
Jika Sukmawati mengaku tidak tahu syariat Islam,
maka aku pun tidak tahu pula karena bukan ulama
Jika puteri Bung Karno itu mengaku tidak tahu cadar,
maka aku pun tidak tahu mengapa ibuku berkerudung
Jika puteri Soekarno yang kita muliakan itu tidak tahu azan,
maka aku pun tidak tahu ketika masih dalam gendongan
Karena tidak tahu, maka aku pun mencarinya untuk menjadi tahu
Karena bodohnya, maka kegelapan hati ikut menebar dengki
Karena khilaf mempersoalkan azan dan cadar, maka di luar sadar jerat melilit diri
Awalnya aku pun tak tahu apa itu agama, tapi aku pilih Islam sebagai agama
Awalnya aku pun tidak tahu Katolik, Protestan, Hindu, Buddha dan Khonghucu
hingga penganut kepercayaan
tapi, karena belajar, agama-agama itu telah memperkaya diriku
Agama-agama dan ajaran penganut kepercayaan telah menebar ajarannya
dan Bumi Pertiwi pun menerima seizin ridho-Nya
Aku pun melihat butiran mutiara sebagai pesan universalnya
dan, aku pun menyaksikan agama-agama itu telah menguatkan kehidupan bertoleransi
Dadaku ikut terasa terkoyak
Bukan karena banyak orang marah,
tapi lebih lantaran kelompok intoleran bertepuk tangan
Lihat?
Sebab, puisi ibu berlawanan dengan semangat pesan Proklamasi
Bisa jadi umat lain bersedih, karena khilaf puisi diwarnai gelap hati
Agamaku memberi tahu, belajar tidak kenal tua
dan agama-agama lain menganjurkan menuntut ilmu hingga liang kubur
Para ibu akan menangis kala anaknya tak sekolah
karena disadari menuntut ilmu sangat penting
Lalu, baiknya ibu dapat berkaca dengan anak sekolahan
Yakinlah, bu?
Belajar dapat menggiring diri dari tidak tahu menjadi tahu,
dari hidup miskin menjadi kaya (hati)
Dari tidak tahu apa itu syariat akan paham dan mengamalkan syariat Islam
Berawal tidak tahu indahnya azan, akan tergerak hati memenuhi panggilan Tuhan