Lihat ke Halaman Asli

Edy Supriatna Syafei

TERVERIFIKASI

Penulis

Perempuan Politik, Itu Retorika dan Kebijakan Setengah Hati

Diperbarui: 9 Maret 2018   16:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ceu Popong mampu memimpin jalannya sidang di parlemen. Foto | Okezone.com

Ini langkah berani, apa lagi momentumnya di tahun politik, Kompasiana mengangkat topik Perempuan Politik. Sudah dapat diduga, tentu pembahasannya akan menyinggung perempuan masih saja diposisikan sebagai orang kelas dua. Perempuan, dalam praktik, kedudukannya tidak sama dengan para lelaki meski kesamaan hak selalu digaungkan.

Kesamaan hak bekerja dan menuntut ilmu tidak sepenuhnya berlaku. Kalaupun ada pernyataan bahwa petinggi negeri ini sudah memberi kesempatan bagi perempuan berkarier dalam dunia politik, senyatanya masih jauh panggang dari api.

Tegasnya, apa yang diungkapkan dan diharapkan tidak sesuai dengan praktek di lapangan. Tidak seperti diharapkan.

Data Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035, dari total 261,9 juta penduduk Indonesia pada 2017, penduduk perempuan sekitar 130,3 juta jiwa (49,75 persen) dari populasi. Besarnya populasi perempuan tersebut tidak terpresentasi dalam parlemen. Proporsi perempuan di kursi DPR jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan laki-laki.

Jelas saja, sebagaimana disebut laman Tirto, hal itu tentu tidak akan mampu memenuhi kuota 30 persen perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Padahal UU No. 2 Tahun 2008 memuat kebijakan keharusan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat.

Keterwakilan perempuan. Foto | Tirto

Lantas, coba perhatikan di sejumlah kantor kementerian, paling angkanya kurang 10 persen perempuan yang diberi posisi sebagai pejabat. Alasan bahwa semua aparatur negeri sipil atau ASN untuk menduduki jabatan eselon IV hingga I harus melalui proses uji kompetensi, rasanya tidak masuk akal. Sebab, dari sananya sudah diatur sedemikian rupa. Kuota pejabat untuk perempuan memang tidak ada.

Prof. Dr. dr. Nila Djuwita F. Moeloek, SpM. adalah Menteri Kesehatan Indonesia pada Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Ia juga seorang ahli oftalmologi dan guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Foto | YouTube.com

Prioritasnya pun para lelaki, para pengujinya pun harus lelaki. Posisi perempuan di mana?

Itu di level kementerian. Di berbagai lembaga pendidikan dan instansi pemerintah pun senyatanya hampir serupa. Kalaupun ada perempuan mencapai puncak tertinggi sebagai rektor di perguruan tinggi negeri, misalnya, hal itu lebih disebabkan kemampuan dan integritasnya melebihi dari kelompok lelaki.

Namun sebelum mencapai jabatan tertinggi itu, wuih, liku-likunya sangat berat. Ancaman, intimidasi hingga klenik pun ikut dimainkan. Pokoknya, para lelaki dari berbagai kalangan selalu berupaya agar si pejabat perempuan jatuh dari kedudukannya.

Jauh sebelum zaman now, kita sudah diingatkan tentang kedudukan perempuan. Coba simak ketika Qasim Amin --seorang tokoh pembaru Mesir-- mengeluarkan gagasan kontroversial tentang perempuan. Salah satu gagasan itu menyangkut hijab atau jilbab bagi perempuan bukanlah suatu keharusan dan poligami harus dihapuskan.

Ya, jelaslah gagasan itu ditolak mentah-mentah. Bahkan, karena jengkelnya, para ulama saat itu menyebut ia murtad dan kafir. Lantas, tidak hanya sampai di situ, karya-karya Qasim diharamkan untuk dibaca. Sedih, kan?

Jadi, sedari dulu hingga kini, perempuan tetap saja ruang geraknya dipersempit untuk menduduki jabatan di instansi pemerintah hingga jabatan politik sekalipun. Dalam perjalanannya memang ada tanda-tanda mengembirakan. Salah satu keputusan Konferensi Besar Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) pada Maret 1957 di Surabaya, menyebut kaum perempuan diperbolehkan menjadi anggota DPR/DPRD.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline