Lihat ke Halaman Asli

Edy Supriatna Syafei

TERVERIFIKASI

Penulis

Berdebat tentang Larangan Bercadar Tidak Akan Pernah Berujung

Diperbarui: 4 November 2019   10:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wanita bercadar. | Foto: NU Online

Rasanya "ribet" menyaksikan perempuan mengenakan cadar ketika makan. Setiap hendak menyuap makanan, ia menyingkap cadarnya. Lalu disambut mulut dari balik cadar. Terdengar suara perlahan mulut mengunyah makanan.

Apakah dia merasa nikmat atau tidak, kita tidak bisa menilai. Apalagi saat ia makan, kita tak bisa menyaksikan mulutnya bergerak atau bekerja mengunyah makanan. Kita hanya mampu melihat dari sorot mata dan suara saja.

Ketika bertandang ke rumah seorang rekan, lalu si tuan rumah mengajak makan bersama di kediamannya, tentu saja harus disambut gembira. Kita merasa dihormati. Tapi, lagi-lagi, sebagai tamu yang mengajak rekan mengenakan cadar dan makan bersama tentu akan muncul rasa bimbang. Mau makan bersama atau tidak.

Jika diterima, apakah tuan rumah tidak tersinggung dengan gaya makan orang bercadar. Apalagi si tuan rumah tidak pernah menyaksikan orang bercadar makan bersama. Atau bisa pula si perempuan bercadar merasa tersinggung diajak makan, dengan dugaan akan diolok-olok oleh rekannya atau si tuan rumah.

Penulis punya pengalaman makan bersama dengan seorang perempuan bercadar. Saya tak sebut namanya, tetapi ia adalah seorang yang bermukim di Mekkah. Atau sebutan lain ia adalah seorang mukimin. Ia aktif sekali membantu petugas panitia penyelenggara ibadah haji (PPIH). 

Setiap siang hari, atau ba'da zuhur, ia ikut makan bersama dengan para petugas PPIH di kantor misi haji Indonesia atau Daerah Kerja (Daker) Mekkah.

Perempuan bercadar ini tentu makan satu meja dengan rekan perempuan lainnya yang juga menjadi petugas PPIH. Kadang si perempuan bercadar itu makan satu meja dengan petugas lelaki. Seperti biasa, menyuap nasi, ya, tadi itu, tetap harus didahului dengan menyingkap cadarnya perlahan-lahan. 

Tidak terdengar ia mengunyah nasi. Kita hanya bisa menduga-duga yang bersangkutan menikmati makan dengan nyaman. Ia tidak merasa terganggu dengan petugas pria yang kadang iseng menggoda.

Si perempuan bercadar tidak merasa terganggu. Ia malah membalas dengan kata-kata bersahabat. Sayangnya, kita tidak bisa menyaksikan ia apakah tersenyum atau cemberut. Dari kata-kata yang keluar, si perempuan bercadar itu sudah hafal betul tingkah polah petugas haji karena sudah terlalu lama (72 hari) berada di Mekkah.

Pakaian cadar, dari pengalaman penulis beberapa kali menjadi petugas haji, ternyata tidak semua dikenakan oleh para wanita Arab Saudi.

Seorang jurnalis wanita dari Tanah Air pernah diajak menyaksikan bagaimana perilaku berpakaian perempuan negeri itu. Perempuan negeri petro dollar itu sehari-hari mengenakan cadar, ia bekerja di sebuah stasion televisi lokal. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline